Oleh: Anang Rohadi ST MM
Saatnya masyarakat menentukan harga sawit dan tumbangkan monopoli.
Para petani sawit di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, sudah lama merasa tidak adil. Harga tandan buah segar (TBS) sawit yang mereka terima selalu lebih rendah dibandingkan dengan petani di Sumatera Barat, Riau, bahkan Medan.
Perbedaan ini tidak jarang membuat petani merasa putus asa, apalagi ketika biaya produksi terus naik, namun harga jual tetap rendah.
Usut punya usut, ternyata ada satu perbedaan mendasar yang membuat harga sawit di Mukomuko selalu tertinggal: sistem koperasi.
Daerah Lain Sudah Kompak Lewat Koperasi
Di provinsi-provinsi tetangga seperti Riau dan Sumatera Barat, petani sawit tidak lagi berjalan sendiri-sendiri. Mereka telah membentuk koperasi sawit yang kuat dan solid. Koperasi inilah yang menjadi jembatan antara petani dan pabrik.
Dengan sistem koperasi, petani menjual TBS secara kolektif melalui organisasi resmi yang telah terdaftar dan diakui pemerintah. Koperasi kemudian menjalin kerja sama langsung dengan pabrik kelapa sawit (PKS), dan ikut dalam penetapan harga yang transparan.
“Kalau di Riau dan Sumbar, harga TBS ditentukan oleh tim penetapan harga provinsi yang melibatkan perwakilan petani, koperasi, dan pabrik. Jadi harga lebih adil,” jelas Irwan, seorang aktivis tani asal Payakumbuh.
Mukomuko Masih Mengandalkan Tengkulak
Berbeda halnya dengan kondisi di Mukomuko. Mayoritas petani masih menjual hasil panen secara individu ke pengepul atau tengkulak. Akibatnya, mereka tidak punya posisi tawar. Harga ditentukan sepihak oleh pembeli, dan sering kali jauh dari harga yang seharusnya.
“Pabrik lebih suka beli dari tengkulak karena bisa tekan harga. Petani nggak bisa ngelawan, soalnya nggak ada yang membela,” keluh Rudi, petani sawit asal Kecamatan Teramang Jaya.
Tak adanya sistem koperasi yang kuat membuat pabrik di Mukomuko tak terikat aturan penetapan harga provinsi secara ketat. Padahal, jika petani bersatu dalam koperasi, pabrik tidak akan bisa semena-mena menentukan harga beli.
Solusi: Perkuat Koperasi Petani Sawit
Para pakar pertanian dan pemerhati petani mendorong Pemkab Mukomuko dan Dinas Pertanian untuk segera bertindak. Pembentukan dan penguatan koperasi petani sawit harus menjadi prioritas.
“Koperasi bukan hanya soal harga. Di dalamnya ada pendidikan bagi petani, akses permodalan, manajemen usaha tani, dan jaminan pemasaran,” ujar Ahmad Yani, Dosen Pertanian dari Universitas Bengkulu.
Jika koperasi terbentuk dengan baik, petani Mukomuko bisa menikmati harga TBS yang lebih stabil dan adil. Mereka juga bisa ikut serta dalam rapat penetapan harga TBS secara resmi.
Harapan Petani
Meski sempat apatis, kini semakin banyak petani muda yang mulai sadar pentingnya membentuk koperasi. Mereka ingin keluar dari jerat tengkulak dan mendapatkan hak mereka sebagai produsen utama sawit.
“Kalau terus begini, kita hanya jadi buruh di tanah sendiri. Sudah saatnya kita bersatu, biar suara petani bisa didengar,” tegas Yudi, petani milenial dari Kecamatan Air Rami.
Mukomuko punya potensi besar sebagai daerah penghasil sawit. Tapi selama petani masih berjalan sendiri-sendiri, mereka akan terus tertinggal.
Penulis merupakan salah seorang petani sawit di Kabupaten Mukomuko
📲 Ingin update berita terbaru dari