Oleh: Abdusy Syakir
“Di bawah pemimpin yang baik, anak buah yang bodoh pun ada gunanya. Tapi di bawah pemimpin yang bodoh, pasukan terbaik pun kocar kacir”
Kang Komar (Preman Pensiun)
Pertengahan April 2025, atmosfer politik di Indonesia kembali meningkat pasca adanya pernyataan sikap dari para purnawirawan TNI terdiri dari 103 Jenderal, 73 Laksamana, 65 Marsekal dan 91 Kolonel pada acara Silaturahmi Purnawirawan Prajurit TNI di Jakarta, yang setidaknya terdiri dari 8 point pernyataan.
Acara tersebut dihadiri oleh ratusan purnawirawan TNI minus purnawirawan dari matra Kepolisian dan Pernyataan sikap tersebut dibacakan oleh Mayjen (purn) TNI Sunarko yang pada 12 September 2007 menjabat sebagai Danjen Kopassus ke 22 menggantikan Majend TNI Rasyid Qurnuen Aquary.
Apa itu Pemakzulan
Pemakzulan berasal dari kata makzul, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti berhenti memegang jabatan, turun takhta sehingga pemakzulan dapat dimaknai sebagai suatu proses, cara, atau perbuatan untuk memakzulkan atau menurunkan dari pemegang kekuasaan atau menurunkan dari takhta.
Dalam bahasa Latin, pemakzulan disebut impedicare yang berarti menjerat atau menangkap dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah impeachment.
Meski demikian patut diketahui ada perbedaan antara impeachment dengan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden meskipun keduanya saling terikat dan berhubungan satu sama lain.
Mengutip pendapat Ahmad Roestandi dalam Mahkamah Konstitusi dalam Tanya Jawab hal 168, yang dimaksud impeachment menuduh atau mendakwa yang merupakan sinonim dari bahasa inggris accuse atau charge, dan dalam praktek tidak semua upaya impeachment selalu bermuara pada pemberhentian karna akan sangat tergantung pada faktor-faktor tertentu.
Pemakzulan dalam Terminologi Konstitusi
Dalam konteks konstitusi di Indonesia baik dalam teori atau praktek, apakah mengenal pemakzulan atau impeachment dan apa yang menjadi landasan hukumnya?
Merujuk UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen ketentuan berkenaan dengan pemakzulan tidak diatur secara jelas dan tegas oleh karenanya hal ini berimplikasi pada problematika konstitusi ketika seorang pejabat Negara katakanlah Presiden atau Wakil Presiden dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap konstitusi atau hukum sehingga dipandang tidak cakap lagi sebagai Presiden atau Wakil Presiden?
Dalam konteks hukum tata Negara setidaknya terdapat dua model pemakzulan yakni :
- Impeachment, yakni pemberhentian pejabat Negara karena melanggar pasal-pasal antara lain pengkhianatan terhadap Negara, penyuapan, kejahatan tingkat tinggilainnya dan perbuatan tercela. Konsep ini lahir di Mesir Kuno dengan istilah iesangelia dan pada abad ke-17 diadopsi oleh Inggris dan dimasukkan dalam konstitusi Amerika Serikat pada akhir abad ke-18.
- Forum previlegiatum, konsep pemberhentian pejabat tinggi Negara termasuk presiden melalui peradilan khusus yakni Presiden yang dianggap melanggar hukum diberhentikan melalui mekanisme pengadilan yang dipercepat tanpa melalui jenjang pemeriksaan pengadilan konvensional dari tingkat bawah.
Dari dua model diatas secara substansi pemakzulan bertujuan untuk memberhentikan pejabat Negara termasuk Presiden atau Wakil Presiden dari jabatannya sebelum berakhirnya masa jabatan karena dianggap telah melanggar ketentuan yang telah diatur didalam konstitusi dan aturan lainnya sehingga impeachment dan forum previlegiatum hanya merupakan sarana atau entry point.
Secara normative, wujud Negara kita adalah Negara Hukum hal ini tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 oleh karenanya segala tindakan dalam berbangsa dan bernegara termasuk para pejabatnya harus mendasarkan pada aturan hukum sehingga ini menghindari perbuatan semena-mena dan penyalahgunaan wewenang serta menjamin kepastian dan hak-hak warga negara.
Lantas apa yang menjadi dasar konsep dasar ketatanegaraan kita dimana seorang Presiden atau Wakil Presiden dapat diberhentikan ditengah jalan meskipun belum berakhir masa jabatannya?
Menjawab pertanyaan ini berkenaan upaya pemakzulan atau impeachment dapat menggunakan ketentuan sebagaimana diatur pada Pasal 7A UUD 1945 (hasil amandemen ke tiga) disebutkan “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Dari bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang Presiden atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya sebelum berakhir masa jabatannya setidaknya dengan dua alasan yaitu pertama, melakukan pelanggaran hukum, dan kedua, terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Meskipun demikian patut di pahami bahwa pemakzulan atau impeachment sebagaimana pasal diatas dimaknai dapat berlaku sekaligus bagi keduanya dan juga hanya berlaku bagi Presiden atau Wakil Presiden saja hal ini tergantung konteksnya karna pada pasal tersebut terdapat frasa DAN/ATAU yang dalam bahasa hukum merupakan choice atau pilihan oleh karenanya tergantung siapa yang dianggap telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak memenuhi syarat.
Mekanisme Pemakzulan
Bahwa jika upaya pemakzulan memiliki landasan hukum yang kuat dalam konsep ketatanegaraan kita maka pertanyaan lanjutan yakni bagaimana pelaksanaannya sehingga dugaan atau tuduhan telah terjadi pelanggaran dapat ter-implementasi dengan benar dan berdasar?
Hal ini telah diatur secara jelas pada pasal berikutnya yakni Pasal 7B (ayat 1 sampai dengan ayat 7) UUD 1945, secara umum mekanisme dan tahapan tersebut sebagai berikut :
1. Pengajuan usul oleh DPR
Pengajuan usul oleh DPR didahului penyelidikan dengan menggunakan hak angket setelah itu DPR menggunakan hak menyatakan pendapat sebagai follow up atas pelaksanaan hak angket yang dilakukan dalam forum sidang paripurna.
Pelaksanaan sidang paripurna dimaksud dilakukan dengan ketentuan harus dihadiri 2/3 dari anggota DPR dan putusan diambil dan disetujui oleh 2/3 anggota yang hadir. Setelah dilakukan sidang paripurna maka hasilnya diajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi
2. Pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi
Permohonan Pendapat yang telah diajukan oleh DPR atas dugaan pelanggaran konstitusi oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa, diadili dan diputuskan dalam tenggang waktu paling lama 90 hari setelah permohonan itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi
3. Sidang Paripurna DPR
Pelaksanaan sidang paripurna dilakukan kembali oleh DPR jika Mahkamah Konstitusi berpendapat atau memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang bertujuan meneruskan usul pemberhentian kepada MPR.
4. Sidang MPR
MPR setelah menerima usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib menggelar sidang paripurna untuk memutus usul DPR tersebut paling lama 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut dengan cara dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota yang hadir.
5. Pembelaan Presiden dan/atau Wakil Presiden
Dalam forum paripurna MPR tersebut sebelum diambil keputusan oleh MPR diberi kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk memberikan penjelasan berkenaan hal yang menjadi substansi dari usulan pemberhentian tersebut.
6. Keputusan Akhir
Terhadap penjelasan tersebut maka pada akhirnya MPR akan mengambil keputusan apakah usulan DPR atas pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya disetujui atau tidak, jika disetujui maka Presiden dan/atau Wakil Presiden berhenti namun jika usulan tersebut tidak diterima maka Presiden dan/atau Wakil Presiden tetap menjabat.
Dari uraian diatas memberikan ilustrasi yang gamblang bahwa dalam konteks proses pemakzulan atau impeachment DPR tidak dapat memutuskan sendiri, tentu memerlukan dukungan dan keterlibatan pihak lain yang memiliki peran strategis sesuai dengan kewenangannya, pihak tersebut antara lain DPR, Mahkamah Konstitusi dan MPR.
Namun demikian mekanisme dan tahapan pemakzulan diatas bagi penulis menyisakan satu pertanyaan konstitusi jika kemudian terdapat kondisi dimana pada putusan akhir usul DPR atas pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh MPR ditolak atau tidak dapat diterima oleh 2/3 anggota yang hadir meskipun Mahkamah Konstitusi memutuskan adanya pelanggaran hukum dan/atau terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan berbagai argumentasi termasuk dinamika konfigurasi politik diparlemen yang sangat mungkin akan terjadi.
Tentu hal ini dapat menjadi kajian dan diskusi bagi para ahli, praktisi dan stakeholders lainnya guna menutup kekosongan hukum setidaknya pada ranah pemakzulan.
Wacana Pemakzulan Gibran sebagai Wakil Presiden
Dalam catatan sejarah, setidaknya pemakzulan tidak hanya terjadi hari ini namun pernah ada pada beberapa periode kepemimpinan nasional sebelumnya, pemakzulan tersebut setidaknya pernah terjadi:
1. Presiden Soekarno tahun 1967
Dimana pada Sidang Isntimewa MPRS 1967, MPRS mengeluarkan ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden.
Bagi sebagian pihak hal ini diangggap bukan sebagai pemakzulan namun meskipun secara de jure bukan pemakzulan namun secara de facto dapat dikatakan pemakzulan.
2. Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2001
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, proses pemakzulan terjadi dimana sebelumnya seringkali terjadi berbagai konflik dengan parlemen dan DPR pada saat itu mengeluarkan dua memorandum tanggal 1 Februari dan 30 April 2001 kepada Gus Dur terkait dugaan keterlibatan dalam kasus Dana Yanatera Bulog dan bantuan Sultan Brunei.
Memorandum tersebut disertai dengan permintaan DPR ke MPR agar dilaksanakan sidang istimewa, sebagai respon atas adanya permintaan tersebut Gus Dur menolak hadir pada Sidang Istimewa MPR dan mengeluarkan ketetapan yang menyatakan pembubaran MPR/DPR, penyelenggaraan pemilu dalam setahun dan penangguhan partai Golkar.
Pelaksanaan Sidang Istimewa tanggal 23 Juli 2001 oleh MPR yang diketuai Amin Rais memutuskan mencabut mandate Gus Dur sebai Presiden melalui Ketetapan MPR No.II/MPR/2001 dan mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden.
Dalam kaitan catatan sejarah diatas wacana pemakzulan Gibran sebagai Wakil Presiden menggulir ketika munculnya pernyataan sikap para purnawirawan TNI yang setidaknya telah digagas sejak awal 2025 lalu dengan melakukan pertemuan-pertemuan terbatas hingga puncaknya pada pertengahan April 2025.
Melihat dari kapasitas para purnawirawan tentu gerakan ini tidak dapat dikatakan sebagai gerakan yang hanya iseng atau coba-coba dan dianggap sepele, setidaknya kajian awal hingga analisis mendalam dengan disertai bahan-bahan yang valid telah dilakukan.
Adapun delapan point pernyataan para purnawirawan TNI tersebut yakni:
- Kembali ke UUD 1945 asli sebagai Tata Hukum Politik dan Tata Tertib Pemerintahan,
- Mendukung Program Kerja Kabinet Merah Putih yang dikenal sebagai Asta Cita, kecuali untuk kelanjutan pembangunan IKN,
- Menghentikan PSN PIK 2, PSN Rempang dan kasus-kasus yang serupa dikarenakan sangat merugikan dan menindas masyarakat serta berdampak pada kerusakan lingkungan,
- Menghentikan tenaga kerja asing Cina yang masuk ke wilayah NKRI dan mengembalikan tenaga kerja asing Cina ke Negara asalnya,
- Pemerintah wajib melakukan penertiban pengelolaan pertambangan yang tidak sesuai dengan aturan dan UUUD 1945 Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3,
- Melakukan reshuffle kepada para menteri yang sangat diduga telah melakukan kejahatan korupsi dan mengambil tindakan tegas kepada para Pejabat dan Aparat Negara yang masih terikat dengan kepentingan mantan Presiden ke-7 RI Joko Widodo,
- Mengembalikan Polri pada fungsi kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) dibawah Kemendagri,
- Mengusulkan pergantian Wakil Presiden kepada MPR karena keputusan MK terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Dari 8 point pernyataan sikap diatas setidaknya point terakhir menjadi isu sensitive dan dianggap sebagai residu politik pasca pilpres ditengah proses hukum yang dilakukan oleh Joko Widodo sebagai orang tua kandung Gibran dengan melaporkan ke Polda Metro Jaya beberapa orang antara lain Roy Suryo, Dr Rismon dan dr Tifa berkenaan ijazah palsu.
Mencermati wacana pemakzulan itu jika diletakkan pada konteks kontestasi Pilpres tentu menjadi tidak bermakna dan tidak relevan lagi karena suka tidak suka proses hukum pilpres telah usai dan sah secara hukum dinyatakan sebagai pemenang meskipun terhadap permohonan sengketa pilpres terdapat dissenting opinion oleh majelis Mahkamah Konstitusi.
Hal ini dapat dilihat pada dasar penggunaan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu No 7 tahun 2017 dimana terkait dengan syarat batas usia sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden dan terkunci dengan adanya putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang bersifat final dan mengikat.
Lantas dengan demikian apakah terdapat ruang pemakzulan bagi seorang Presiden khususnya Gibran sebagai Wakil Presiden ketika ruang tahapan kontestasi pilpres telah usai?
Atau apakah upaya pemakzulan justru berbalik arah dan ditujukan kepada presiden Prabowo?
Jawabannya bisa saja terjadi karena masih terdapat ruang upaya pemakzulan sepanjang terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945 dan ini berlaku tidak hanya Presiden tapi juga Wakil Presiden.
Dalam konteks politik, gerakan para purnawirawan TNI ini dapat dimaknai sebagai ajang pemanasan atau cek ombak khususnya bagi kelompok yang kontra, termasuk test case Presiden Prabowo disisi lain, pada akhirnya diyakini akan terjadi pertemuan kepentingan pada satu titik yang bermuara pada satu kepentingan apakah Gibran dapat dimakzulkan atau tidak.
Menyimak dinamika wacana pemakzulan Gibran saat ini, setidaknya terdapat satu catatan dan pesan penting bahwa sebagai Wakil Presiden, Gibran memiliki legitimasi hukum namun tidak dalam konteks legitimasi etik dan moral dan itu dianggap sebagai kerikil bagi pemerintahan Presiden Prabowo kedepan.
Kompleksitas kenegaraan tentu tidak dapat diselesaikan hanya dengan segelintir orang, kedepan Indonesia membutuhkan pemimpin yang cakap, tegas, berwibawa dan mampu menyelesaikan problem ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya apalagi saat ini disadari atau tidak resesi ekonomi global terasa dampaknya.
Kerelaan berkorban demi kepentingan bangsa dan Negara menjadi harga mati ketika disisi lain kontras terlihat para pemimpin berjibaku demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Penulis Merupakan Penggiat pada komunitas marginal
📲 Ingin update berita terbaru dari Satujuang langsung di WhatsApp? Gabung ke channel kami Klik di sini.