Penulis: Syamsir Alam
Satujuang.com – Sejarah ujian masuk perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia dimulai sejak awal pendirian PTN di negara ini.
Pada awalnya, ujian masuk PTN dilakukan melalui sistem seleksi mandiri yang dilakukan setiap PTN.
Namun, seiring perkembangan waktu dan kebutuhan untuk memperluas akses pendidikan tinggi, sistem ujian masuk PTN mengalami berbagai perubahan sejak era 70-an.
Tujuan perubahan tersebut ialah untuk menciptakan sistem seleksi yang memberikan kesempatan lebih baik dan adil pada setiap lulusan SMA/MA/SMK atau sederajat, yang ingin melanjutkan pendidikan di PTN.
Sistem seleksi masuk
Hingga pertengahan 1970-an, PTN menyeleksi dan menerima mahasiswa baru dengan sistem seleksi mandiri.
Barulah pada 1976 pemerintah membentuk Sekretariat Kerjasama Antar Lima Universitas (SKALU) yang terdiri dari Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), dan Universitas Airlangga (UNAIR).
SKALU berganti nama menjadi Sekretariat Kerja Sama Antar Sepuluh Universitas (SKASU) pada 1978 karena penambahan lima PTN lainnya.
Dalam sistem SKASU, calon mahasiswa diperbolehkan memilih program studi yang berbeda di tiga universitas.
Pada 1978, pemerintah memperkenalkan Proyek Perintis (PP) I, II, III, dan IV sebagai pola seleksi dan penerimaan mahasiswa baru.
PP I ialah pola seleksi untuk 10 universitas, yaitu UI, ITB, IPB, Unpad, Undip, UGM, ITS, Unair, Unibraw, dan USU.
PP II adalah pola seleksi tanpa melalui tes, menggantikan sistem seleksi melalui penelusuran minat, bakat, dan kemampuan (PMDK) yang digagas Profesor Andi Hakim Nasution, rektor IPB.
PP III ialah pola seleksi untuk 23 PTN lainnya di luar 10 besar; seperti UNS, Unsoed, Unsri, dan lain-lain.
Terakhir, PP IV merupakan pola seleksi khusus untuk institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) negeri.
Selanjutnya, pada 1984, sistem seleksi masuk PTN berubah menjadi seleksi penerimaan mahasiswa baru (Sipenmaru), dilaksanakan secara nasional dan serentak, melibatkan seluruh PTN di Indonesia.
Kemudian, pada 1989, Sipenmaru diganti dengan ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN), dilaksanakan secara nasional namun dengan pengelompokan peserta ujian berdasarkan kelompok ujian yang sesuai dengan program studi yang dipilih.
Pada 2002, UMPTN diubah menjadi seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB), yang diubah lagi pada 2008 dengan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) dengan dua jalur seleksi masuk, yaitu undangan dan ujian tertulis.
Sistem ini memperkenalkan registrasi daring untuk memudahkan calon mahasiswa mendaftar. Pada 2013, sistem seleksi masuk PTN kembali diubah menjadi seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN).
SBMPTN menjadi metode seleksi nasional tunggal yang diselenggarakan lembaga tes masuk perguruan tinggi (LTMPT).
Awalnya, SBMPTN menggunakan sistem kuota kursi yang tersedia di PTN dengan tiga jenis ujian, yaitu SBMPTN, SNMPTN, dan ujian mandiri PTN.
Kemudian, pada 2018 SBMPTN menggunakan ujian tulis berbasis cetak (UTBC) dan ujian tulis berbasis komputer (UTBK) sebagai metode seleksi.
Mulai 2019, SBMPTN hanya menggunakan satu metode tes, yaitu UTBK, dengan materi tes potensi skolastik dan tes kompetensi akademik.
Terakhir, pada 2022 Kemendikbud-Ristek mengeluarkan peraturan tentang seleksi masuk PTN, termasuk program diploma dan program sarjana.
Peraturan ini memperkenalkan seleksi nasional berdasarkan prestasi (SNBP) dan seleksi nasional berdasarkan tes (SNBT) yang dilakukan Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan (BP3), Kemendikbud-Ristek.
High-stake examinations
SNMPTN merupakan sistem seleksi untuk mendapatkan kandidat mahasiswa yang layak/terbaik untuk belajar sesuai dengan bidang yang diminati/dipilih di PTN.
Sistem seleksi ini hendaknya memperhatikan tiga prinsip; aksesibilitas, keadilan, dan keterbukaan.
Aksesibilitas terkait dengan kesetaraan, yaitu harus dapat diakses setiap kandidat di manapun mereka berdomisili dengan biaya murah, sedangkan prinsip keadilan terkait dengan alat tes yang digunakan harus terhindar dari bias yang hanya menguntungkan kelompok/kandidat yang belajar di daerah/sekolah tertentu saja.
Pemanfaatan penilaian skolastik saat ini sudah cukup memenuhi harapan keadilan.
Terakhir, sistem seleksi harus terbuka dengan memberi semua siswa akses yang sama ke sumber daya, persiapan, dan informasi untuk membantu mereka berhasil dalam ujian masuk, termasuk administrasi tesnya.
Untuk Indonesia dengan spektrum masyarakat yang sangat beragam, sistem tunggal masuk perguruan tinggi, seperti SNMPTN dapat memberikan proses penilaian yang standar, objektif, dan lebih berkeadilan bagi semua kandidat.
Sistem ini dapat memastikan bahwa siswa dievaluasi berdasarkan prestasi dan potensi akademik mereka, terlepas dari latar belakang sosial ekonomi atau lokasi geografis mereka.
Namun, sistem tunggal masuk perguruan tinggi juga memiliki kelemahan.
Misalnya, daya saing SNMPTN yang tinggi dapat menimbulkan stres dan tekanan bagi kandidat/siswa.
Selain itu, terbatasnya jumlah kursi yang tersedia di PTN papan atas menyebabkan akses dan kesempatan yang tidak merata bagi kandidat/siswa dengan latar belakang ekonomi yang kurang beruntung.
Ditambah dengan mutu sekolah pada hampir semua wilayah belum merata. Dengan alasan ini, sistem seleksi berdasarkan prestasi (undangan) masih dipandang perlu untuk menjaga prinsip keseimbangan dan keadilan.
Namun, pelaksanaannya seharusnya diprioritaskan untuk daerah-daerah tertentu yang kualitas belajarnya masih tertinggal.
Dengan begitu jalur undangan ini tidak didominasi siswa yang belajar di sekolah-sekolah unggulan/favorit, yang umumnya terdapat di kota-kota besar dan pulau Jawa.
Jalur undangan harus dilandasi semangat afirmatif untuk menjamin keseimbangan pembangunan pendidikan daerah, sedangkan jalur seleksi mandiri hendaknya dipertimbangkan untuk dihapus, karena hanya memberikan akses pada kandidat yang secara ekonomi mampu.
Apalagi, peluang kecurangannya nyata seperti yang terjadi belakangan ini.
Secara keseluruhan, pilihan sistem masuk PTN bergantung pada faktor tujuan dan prioritas pendidikan tinggi, kebutuhan dan kemampuan mahasiswa, serta sumber daya dan kapasitas universitas.
Penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor ini dengan hati-hati dan memilih sistem yang transparan, adil, dan setara untuk semua siswa.
Karena itu, sistem tunggal masuk perguruan tinggi perlu dilengkapi dengan jalur alternatif dan program pendukung yang memastikan semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan tinggi.
Termasuk memberikan bantuan keuangan, beasiswa, dan program dukungan untuk siswa dari latar belakang ekonomi kurang mampu, serta menciptakan jalur alternatif masuk lain, selain jalur undangan/prestasi. Wallahu ‘alam bi al-shawab.
Penulis adalah Dewan Pengawas Yayasan Sukma