Penulis: Sugeng Winarno

Satujuang– Film dokumenter Netflix bertajuk Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso jadi polemik.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Kemunculan film tersebut memicu viralnya kembali kasus kopi sianida yang melibatkan Jessica Kumala Wongso dan I Wayan Mirna Salihin.

Publik ramai membicarakan film itu dan sejumlah kejadian yang dianggap janggal dalam kasus yang terjadi pada 6 Januari 2016 silam tersebut.

Di media sosial (medsos) para netizen melakukan pemaknaan (resepsi) terhadap film itu dengan beragam opini.

Pengacara, praktisi hukum, dan mahasiswa tak ketinggalan turut ramai berkomentar.

Film besutan sutradara kenamaan Netflix Rob Sixsmith yang tayang perdana pada Kamis (28/9) lalu ini mencoba menyusun sejumlah fakta dan cerita dalam proses persidangan yang kontroversial.

Disajikan dalam gaya mirip sinetron, film yang berdurasi 86 menit ini mempertontonkan dua kubu yang saling bantah argumen.

Film ini menceritakan bagaimana konflik persidangan berkepanjangan yang dijahit dengan wawancara dengan ayah dan saudara kembar Mirna, pengacara Jessica, manajer dan barista Kafe Olivier, jurnalis, serta sejumlah tokoh lain.

Melalui film ini penonton juga diajak mengetahui bagaimana rasa kesal pihak Jessica terhadap media massa yang memberitakan peristiwa ini yang terlalu mendramatisasi dan tak berimbang.

Bahkan, terkesan media telah melakukan penghakiman (trial by the press) bahwa Jessica yang bersalah.

Proses persidangan yang panjang dan melelahkan juga ditampilkan sejumlah stasiun televisi secara ”telanjang” dengan berdurasi panjang waktu itu.

Pemberitaan media ini dinilai banyak pihak sudah berlebihan dan bisa menggiring opini tertentu.

Jessica sudah diputus bersalah 10 bulan setelah kematian Mirna dan divonis 20 tahun penjara.

Namun, semenjak keluarnya film ini, di masyarakat timbul keterbelahan. Ada yang terpengaruh dan ada yang tak menanggapi serius.

Namun, film ini mampu memberikan kesempatan kepada penonton untuk berpikir dari sudut pandang yang lain.

Hingga muncullah banyak argumen, terutama dari warganet, yang menilai Jessica bukanlah pembunuh Mirna.

Realitas yang Dikonstruksikan

Realitas yang ada dalam sebuah film sejatinya adalah realitas yang dikonstruksikan oleh sang kreator film.

Di sinilah patut kita pahami bahwa realitas yang tersaji dalam film Ice Cold adalah realitas yang diinginkan oleh sang produser, sutradara, penulis cerita, dan tim produksi film.

Realitas yang ada sudah dipilih, dipilah, dan disajikan sesuai keinginan dan tujuan dari pembuatan film ini.

Jadi, realitas dalam film tentu tak bisa dipahami sama dengan realitas yang terjadi sesungguhnya, termasuk dalam persidangan.

Dalam film sangat mungkin dilakukan pembingkaian (framing) atas realitas sebenarnya yang sesuai kehendak sang pembuat film.

Maka, realitas dalam film tentu tak sama dengan realitas hukum.

Sehingga munculnya film ini mungkin mampu mengubah pikiran seseorang, tapi tak lantas bisa mengubah putusan hukum.

Kasus Jessica juga sudah pernah mengalami peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).

Sehingga putusan dari kasus ini sudah final dan tak bisa berubah. Apalagi, dalam film ini juga tak ada fakta-fakta baru.

Semua fakta yang diungkapkan dalam film ini sudah dibahas dalam persidangan.

Resepsi Ice Cold

Studi pemaknaan (resepsi) yang dikemukakan Stuart Hall (2011) menjelaskan bagaimana pemaknaan penonton saat melihat sebuah tayangan film.

Sebuah simbol, pesan, dan tanda dimaknai sebagai pemaknaan utama (preferred reading) dari sebuah adegan atau tayangan.

Dalam studi resepsi, khalayak berperan aktif dalam memaknai sebuah pesan yang sedang ditayangkan.

Resepsi film Ice Cold berbeda-beda di antara para penonton merupakan hal yang wajar.

Riuhnya komentar netizen di medsos menunjukkan bahwa mereka meresepsi film ini sesuai kemampuan, pengalaman pribadi, dan beragam pembeda latar belakang mereka masing-masing.

Jadi, sah-sah saja kalau para penonton film ini menafsirkan aneka pesan yang diterimanya di layar sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Film ini memang dapat memberikan sudut pandang yang berbeda dari versi resmi yang disampaikan kepolisian dan pengadilan.

Film ini menggugah penonton untuk berpikir kritis dan skeptis tentang kasus ini.
Serta menyadari adanya kemungkinan kesalahan hukum dan manipulasi media saat memberitakan peristiwa ini.

Film ini juga mengajak penonton untuk lebih memahami latar belakang dan kepribadian Jessica yang selama ini dicitrakan sebagai sosok jahat dan psikopat.

Ice Cold merupakan film dokumenter yang menarik dan mendebarkan serta berhasil menghidupkan kembali salah satu kasus pembunuhan paling fenomenal di Indonesia.
Film ini juga memberikan wawasan baru tentang dunia persidangan dan kriminalitas di Indonesia dan tantangan-tantangan yang dihadapi para pelaku hukum dan media.

Sebagai sebuah tontonan, menyaksikan film ini tak perlu dibawa terlalu serius dengan menanggapi munculnya beragam resepsi penonton yang beraneka ragam.

Justru semakin banyak yang menghebohkan film ini, tentu sang produser, sutradara, dan Netflix akan semakin mengeruk keuntungan.

Bukankah film ini adalah bagian dari industri yang menjadikan kasus Jessica dan Mirna sebagai sebuah komoditas yang dapat menghasilkan pundi-pundi uang Sadarlah.(jawapos)

 

Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, alumnus Jurusan Media and Information Curtin University of Technology Australia