Mengulik Kasus Rohidin Mersyah Berdasarkan Informasi Saat Ini

Editor: Raghmad

Oleh: Patri Rahmat Hidayat

Mantan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 23 November 2024, saat berlangsungnya Pemilihan Gubernur (Pilgub) Bengkulu.

Ia diduga meminta uang dari aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bengkulu untuk membiayai kampanye pemilihan ulangnya.

Dalam perkara ini Rohidin Mersyah, mantan Sekda Isnan Fajri dan Evriansyah alias Anca selaku mantan ajudan Gubernur dijadikan tersangka oleh KPK.

Belakangan terungkap juga bukan hanya ASN, namun uang untuk pemenangan ini bersumber dari banyak pihak termasuk para politikus dan pengusaha.

Setelah penangkapan tersebut, Rohidin Mersyah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Ia disangkakan melanggar Pasal 12B jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHPidana Jo Pasal 56 Ayat 1 KUHPidana.

Akibat penangkapan ini, Rohidin Mersyah gagal memenangkan Pilgub Bengkulu 2024. Helmi Hasan, calon dari Partai Amanat Nasional (PAN), berhasil meraih 55,09% suara dan memenangkan pemilihan tersebut.

Beberapa aspek kunci perkara ini menurut penulis:

1. Pentingnya Pengakuan Saksi dan Pembuktian

Pengakuan 2 orang pejabat ASN sebagai saksi dalam sidang ke 2 perkara ini di PN Bengkulu pada Rabu (30/4) lalu mengungkapkan bahwa, besaran uang didasarkan pada kesepakatan tim pemenangan yang telah dibentuk berdasarkan wilayah tanggung jawab mereka.

“Jadi kesepakatan Rp200 juta. Itu disepakati tanpa ada Pak Rohidin, kesepakatan tim internal. Namun saya cuma bisa bantu Rp50 juta,” kata Direktur RSKJ, Jasmen Silitonga yang menjadi saksi dalam sidang tersebut.

“Nah jumlah besaran biaya yang mereka sumbang siapa yang sepakati? dari fakta persidangan terungkap disepakati antara tim yang dibagi perwilayah itu,” kata Kuasa Hukum Rohidin Mersyah, Aan Julianda SH menerangkan kesaksian dari Jimy Hariyanto Pejabat ASN ke 2 yang menjadi saksi.

2 pernyataan ini mengindikasikan sumbangan yang diberikan bukanlah permintaan langsung dari Rohidin, melainkan bagian dari program kampanye atau strategi pemenangan. Bukti yang mendukung kesepakatan tim pemenangan akan sangat penting.

Jika saksi dapat menunjukkan bahwa mereka bertindak sesuai dengan kesepakatan tim tanpa ada instruksi eksplisit dari Rohidin untuk menyetorkan uang, kemungkinan ini bisa menjadi dasar untuk mengurangi bobot dakwaan gratifikasi atau suap terhadap Rohidin.

KPK tentunya harus membuktikan bahwa uang tersebut bukan sekadar dukungan kampanye, tetapi berhubungan langsung dengan pengaturan jabatan atau keuntungan tertentu bagi para pejabat atau ASN yang menyetorkan uang.

2. Ancaman Terhadap ASN

KPK menyebut ada ancaman soal jabatan yang ditujukan kepada ASN yang tidak membantu Rohidin.

Namun, fakta menunjukkan beberapa pejabat yang terlibat tetap berada di jabatan mereka (seperti kepala dinas), ini bisa mengurangi validitas klaim tersebut.

“Kalau saya tidak jadi gubernur lagi, maka saudara-saudara tidak akan duduki jabatan lagi,” kata Jasmen dalam kesaksiannya menirukan ucapan yang disampaikan Rohidin.

Hingga saat ini Jasmen masih menjabat sebagai Direktur RSKJ Bengkulu, meskipun Rohidin Mersyah kalah dalam Pilakda.

Maka, ancaman terhadap jabatan akan sulit untuk dibuktikan jika pejabat yang terlibat tidak menunjukkan perubahan posisi atau pengaruh langsung terhadap karir mereka.

KPK akan kesulitan membuktikan bahwa adanya intimidasi atau ancaman yang dilakukan oleh Rohidin jika pejabat-pejabat tersebut tidak mengalami konsekuensi nyata, seperti pemindahan atau penurunan jabatan.

Namun, jika ada bukti komunikasi atau dokumen yang menunjukkan adanya ancaman, maka ini akan memperkuat klaim KPK.

3. Pentingnya Pembuktian “Imbalan atau Keuntungan”

Dalam kasus korupsi atau gratifikasi, salah satu elemen utama yang harus dibuktikan adalah adanya imbalan atau keuntungan yang diberikan kepada pejabat atau ASN yang menerima uang.

Sumbangan yang disetorkan oleh ASN bisa dianggap sebagai bantuan kampanye, tetapi jika tidak ada keuntungan atau hubungan langsung dengan jabatan atau kebijakan yang menguntungkan para penyetor di masa depan, maka perkara ini bisa sulit untuk dibuktikan sebagai suap atau gratifikasi.

Maka, KPK harus membuktikan bahwa uang yang disetorkan oleh ASN kepada Rohidin bukan sekadar dukungan kampanye sukarela, tetapi berhubungan dengan keuntungan pribadi yang mereka peroleh setelah pemilu, seperti penempatan jabatan atau keputusan kebijakan yang menguntungkan mereka.

Tanpa bukti yang jelas mengenai keuntungan yang didapat penyetor, ini akan semakin sulit dibuktikan sebagai tindak pidana korupsi.

4. Strategi Penyidikan KPK

Dalam perkara ini, strategi KPK harus fokus pada pembuktian hubungan langsung antara penyetoran uang dan keuntungan yang didapat oleh pejabat atau ASN.

Jika para pejabat yang menyetorkan uang tetap berada di jabatan mereka dan tidak ada bukti keuntungan langsung bagi mereka, maka hal ini bisa menjadi hambatan besar bagi KPK.

Jika bisa dibuktikan bahwa ada pertukaran keuntungan di balik penyetoran tersebut (misalnya, jabatan yang didapat, kebijakan yang menguntungkan, atau keputusan yang disesuaikan), maka hal ini akan memperkuat dakwaan terhadap Rohidin dan pihak lainnya.

5. Potensi Dampak Terhadap Pejabat Lain yang Tidak Dijadikan Tersangka

Fakta bahwa beberapa pejabat ASN yang terlibat dalam pemenangan Rohidin tidak dijadikan tersangka dan tetap mempertahankan jabatan mereka akan menjadi pertanyaan besar dalam sidang ini.

KPK harus menjelaskan dengan jelas mengapa hanya beberapa pihak yang dijadikan tersangka, dan bukan seluruhnya.

6. Pendekatan Hukum yang Lebih Komprehensif

Kasus ini bisa dipandang sebagai bagian dari praktik korupsi yang melibatkan tim pemenangan dan bukan hanya fokus pada individu seperti Rohidin.

Dalam hal ini, KPK harus melihat secara keseluruhan bagaimana tim pemenangan mengatur aliran dana dan apakah ada keputusan administratif atau kebijakan yang dibuat oleh pejabat yang menerima uang yang bisa dianggap sebagai imbalan atas sumbangan.

Jika ditemukan adanya pengaturan dana yang tidak transparan dan berkaitan dengan keuntungan pribadi pejabat, maka ini bisa membuka kemungkinan bahwa uang yang disetorkan adalah gratifikasi yang melibatkan imbalan di luar kewajaran.

Berdasarkan informasi yang ada, kasus ini menghadirkan tantangan besar bagi KPK dalam hal pembuktian hubungan langsung antara sumbangan uang dan keuntungan bagi para pejabat yang terlibat.

Jika KPK tidak dapat membuktikan adanya pengaturan jabatan atau keuntungan pribadi yang diberikan kepada pejabat yang menyetorkan uang, maka dakwaan terhadap Rohidin Mersyah bisa terancam melemah.

Namun, jika bukti baru ditemukan atau strategi penyidikan yang lebih mendalam berhasil membuktikan adanya keuntungan pribadi yang didapat dari sumbangan tersebut, maka perkara ini masih bisa berlanjut dengan kuat.

Tantangan terbesar KPK adalah membuktikan bahwa ada hubungan langsung antara kampanye dan keuntungan jabatan atau kebijakan yang terkait dengan sumbangan uang.

Penulis Merupakan Wakil Pimpinan Redaksi Media Ini

📲 Ingin update berita terbaru dari Satujuang langsung di WhatsApp? Gabung ke channel kami Klik di sini.

Apa Tanggapanmu?

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *