Meniru Gaya Dedi Mulyadi, Bisakah Bengkulu Terapkan Model Kebijakan Jawa Barat?

Editor: Raghmad

Gubernur Bengkulu, Helmi Hasan, belakangan ini makin sering diisukan meniru kebijakan dan gaya kepemimpinan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.

Namun, sebelum terlena dengan kepopuleran kebijakan serupa, kita harus bertanya: apakah model kebijakan yang berhasil di Jawa Barat bisa diterapkan dengan sukses di Bengkulu?

Kapasitas Fiskal yang Jauh Berbeda

Mari kita bicara soal kemampuan keuangan daerah. Jawa Barat dengan PAD lebih dari Rp20 triliun memiliki ruang gerak yang luas untuk meluncurkan program besar.

Gubernur Dedi Mulyadi, dengan sumber daya melimpah, berhasil memobilisasi dana dari berbagai pihak, bahkan menggunakan dana pribadi untuk renovasi rumah tanpa melibatkan APBD.

Program-program seperti Bebenah Kampung dan subsidi kontrakan bisa dijalankan dengan fleksibilitas anggaran yang besar.

Sebaliknya, Bengkulu dengan PAD hanya sekitar Rp1 triliun jelas berada dalam posisi yang sangat terbatas.

Dengan anggaran yang terhimpit, untuk merealisasikan program-program ambisius ala Jawa Barat—terutama yang berbasis kolaborasi swasta—harus ada perencanaan yang lebih matang dan skema yang jauh lebih kreatif.

Tanpa dukungan besar dari pemerintah pusat atau sektor swasta yang solid, kebijakan serupa bisa berakhir hanya sebagai angan-angan.

Kesenjangan Kemiskinan yang Mengerikan

Masalah lain yang tak bisa diabaikan adalah tingkat kemiskinan yang masih tinggi di Bengkulu.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat kemiskinan Bengkulu 2024 mencapai 14,71%, hampir dua kali lipat dibandingkan dengan Jawa Barat yang hanya 6,88%.

Hal ini menunjukkan bahwa tantangan sosial dan ekonomi yang dihadapi Bengkulu jauh lebih berat, dengan kebutuhan dasar seperti rumah layak huni, pendidikan, dan lapangan pekerjaan yang jauh lebih mendesak.

Sedangkan di Jawa Barat, fokus mulai bergeser pada penguatan kualitas hidup dan peningkatan daya saing wilayah.

Bengkulu, di sisi lain, masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya.

Kebijakan yang tidak memperhitungkan ketimpangan ini berpotensi menjadi bumerang, memperparah kesenjangan sosial yang sudah ada.

Kolaborasi Sosial yang Terbatas

Jawa Barat memiliki jaringan sosial yang sangat kuat. Berbagai organisasi, lembaga filantropi, dan sektor swasta seperti Yayasan Buddha Tzu Chi berperan besar dalam pembiayaan program-program sosial.

Keberadaan mereka membantu menutupi kekurangan anggaran APBD dalam melaksanakan berbagai program besar.

Namun, di Bengkulu, kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sipil masih sangat terbatas. Infrastruktur sosial yang mendukung kolaborasi publik-swasta belum terbangun dengan baik.

Tanpa kemitraan yang solid, sulit bagi pemerintah daerah untuk menjalankan program besar yang membutuhkan partisipasi aktif dari berbagai pihak.

Gaya Komunikasi vs Substansi Kebijakan

Gaya komunikasi Dedi Mulyadi yang responsif, luwes, dan selalu turun ke lapangan tentu menjadi salah satu daya tariknya.

Helmi Hasan tampaknya mengadopsi gaya serupa, rajin turun ke lapangan dan aktif di media sosial. Namun, gaya komunikasi yang bagus bukanlah jaminan kebijakan akan efektif.

Tanpa perencanaan yang matang, anggaran yang jelas, dan pengawasan yang ketat, kebijakan ala Jawa Barat bisa berisiko jadi beban tambahan, bukan solusi nyata.

Adaptasi, Bukan Adopsi Mentah

Meniru gaya dan kebijakan Dedi Mulyadi tanpa memahami konteks lokal Bengkulu adalah kesalahan besar.

Jika Bengkulu ingin mengadopsi program-program serupa, penyesuaian terhadap kondisi lokal adalah sebuah keharusan. Berikut beberapa saran langkah yang bisa diambil:

  1. Program sesuai kapasitas fiskal: Kebijakan harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah, fokus pada program yang realistis dan bisa dijalankan dengan anggaran terbatas.
  2. Membangun jaringan filantropi lokal: Agar kebijakan berbasis gotong royong berjalan efektif, pemerintah harus mengembangkan kemitraan dengan sektor swasta dan masyarakat sipil.
  3. Pemetaan kemiskinan mikro: Agar intervensi sosial tepat sasaran, penting untuk mengembangkan data kemiskinan yang lebih detail dan tersegmentasi.
  4. Inovasi sosial berbasis komunitas: Melibatkan perguruan tinggi, lembaga riset, dan komunitas lokal dalam merancang program yang bisa menanggulangi masalah kemiskinan secara berkelanjutan.

Bengkulu tidak perlu menjadi duplikat Jawa Barat.

Sebaliknya, Bengkulu harus menemukan model kebijakan yang lebih kontekstual, berkelanjutan, dan mengutamakan kebutuhan lokal.

📲 Ingin update berita terbaru dari Satujuang langsung di WhatsApp? Gabung ke channel kami Klik di sini.

Apa Tanggapanmu?

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *