Menu

Mode Gelap
UMP 2025 Naik, Berikut Rincian di Beberapa Provinsi Tikus Dalam Rumah? Ini Bahaya dan Cara Mengatasinya Dugaan Korupsi Tata Niaga Timah, Harvey Moeis Dituntut 12 Tahun Penjara Nikmati Meta AI dan Fitur Canggih WhatsApp Versi Terbaru Pemdes Air Kopras Salurkan BLT-DD Untuk 47 KPM Membatalkan Salat Saat Bencana Alam? Ini Pandangan Islam

SJ News

Laut Asia Tenggara Rawan Dijajah, Akademisi Universitas Moestopo Beri Solusi

badge-check


Dosen FISIP Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Dr. Ryantori Perbesar

Dosen FISIP Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Dr. Ryantori

Jakarta – Berbagai kejahatan dapat terjadi dimana saja tidak terkecuali di Laut Asia Tenggara. Laut di Asia Tenggara sendiri terkenal sebagai salah satu lautan paling berbahaya di dunia.

Laut Asia Tenggara seringkali menarik minat bajak laut untuk melakukan kejahatan di perairannya.

Menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Dr. Ryantori, kasus bajak laut di Asia Tenggara adalah kasus khusus.

Hal tersebut dipaparkan pada konferensi internasional di Hanoi Law University, Vietnam bertajuk Cooperarion between Vietnam and Southeast Asian Countries in the Fight against Crime.

Hal ini menilik pada awal abad ke-19, dimana Mindanao dan kepulauan Sulu di Filipina menjadi markas para perompak.

Dari kedua titik tersebut para bajak laut menjalankan operasi jahatnya di sekitar Maluku, pantai Kalimantan, Sulawesi dan bahkan semenanjung Melayu.

Antara tahun 1995 dan 2013, Asia Tenggara menjadi lokasi dari 41% serangan bajak laut dunia. Lokasi yang menjadi markas mereka terletak di pinggiran Pulau Lingga, di Selat Malaka.

“Di sana, para perompak mengorganisir diri untuk mendominasi lautan Selat Malaka dan mendapatkan keuntungan besar,” ujar Dr. Ryantori yang juga Wakil Rektor III Universitas Moestopo.

Adapun beberapa penyebab yang menjadi akar tumbuh suburnya pembajakan di Asia Tenggara yakni penangkapan ikan berlebihan dan batas maritim.

Selain itu, ada pula karena aturan dan regulasi maritim, kejahatan terorganisir, teroris dan gerilyawan, serta kemiskinan.

Sementara Samudera Hindia Barat, yang meliputi Somalia, hanya menyumbang 28%, dan pantai Afrika Barat hanya 18%.

Padahal pemberitaan selama ini menyebut pantai Somalia menjadi pantai angker bagi para pelaut dunia.

Pada periode tersebut, 136 pelaut tewas di perairan Asia Tenggara akibat perompakan. Angka ini dua kali jumlah korban yang jatuh di wilayah Afrika Barat dan Tanduk Afrika, tempat Somalia berada.

Dr. Ryantori melanjutkan, terdapat dua jenis kelompok perompak yakni perampok laut oportunistik dan geng bajak laut terorganisir.

Dimana perampok laut oportunistik terlibat dalam serangan skala kecil dan geng bajak laut terorganisir yang bertanggung jawab atas pembajakan dan serangan bajak laut besar.

“Untuk meminimalisasi kehadiran bajak laut di lautan Asia Tenggara perlu adanya peningkatan kerja sama diantara negara-negara ASEAN, khususnya kerja sama keamanan maritim,” usul Dr. Ryantori

Dalam usulannya tersebut, Dr. Ryantori berharap agar semua negara ASEAN juga harus saling membantu mengembangkan sumber daya alam dan ekonomi.

Dari usulan tersebut, diharapkan jika tingkat ekonomi kawasan meningkat maka tingkat kejahatan akan menurun.

Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) sebagai sebuah kampus swasta ternama di Indonesia sangat mendukung kerja sama dan kolaborasi.

Dimana pada tingkat perguruan tinggi, salah satu langkah awal yang bisa dilakukan oleh akademisi di kawasan adalah dengan berbagi pengalaman dan pengetahuan.

Sehingga kedepannya diharapkan akan terus menjalin kolaborasi bersama institusi luar negeri sebagai upaya untuk menjadikan Universitas Moestopo sebagai Kampus Kelas Dunia. (nt)

Trending di SJ News