Satujuang, Mukomuko– Pemerintah Provinsi Bengkulu kembali menjadi sorotan terkait lemahnya pengawasan dan intervensi terhadap perusahaan kelapa sawit yang membeli tandan buah segar (TBS) jauh di bawah harga penetapan resmi.
Meskipun telah diterbitkan Surat Rekomendasi Teguran 1 Nomor: 500/35-1/DTPHP/2025 tertanggal 24 April 2025 terhadap empat perusahaan sawit di Kabupaten Mukomuko, realisasi harga tetap tidak berubah.
Keempat perusahaan yang direkomendasikan mendapat teguran adalah PT Surya Andalan Primatarma, PT Sapta Sentosa Jaya Abadi, PT Karya Agro Sawitindo, dan PT Usaha Sawit Mandiri.
Teguran itu merujuk pada Permentan Nomor 13 Tahun 2024 dan hasil evaluasi Satgas Pengawasan Pembelian TBS yang menemukan ketidaksesuaian harga jual di lapangan.
Namun kenyataannya, hingga hari Kamis 8 Mei 2025, harga TBS justru kembali turun. Pabrik PT DDP resmi menurunkan harga beli menjadi Rp2.710 per kilogram, turun Rp40 dari harga sebelumnya.
Padahal, pemerintah melalui Tim Penetapan Harga telah menetapkan harga TBS untuk periode April 2025 sebesar Rp3.143 per kilogram.
Perbedaan harga ini mempertegas lemahnya daya intervensi pemerintah terhadap pabrik sawit yang semestinya bermitra dengan petani.
Aliansi Petani Kelapa Sawit Bengkulu (APKSB) menyebut kondisi ini sebagai bentuk kegagalan pemerintah menegakkan aturan yang telah mereka buat sendiri.
Dalam aksi demonstrasi yang digelar pada 28 April 2025 di depan kantor Gubernur Bengkulu, Ketua APKSB Edi Mashuri menyebut bahwa janji sanksi terhadap perusahaan yang tidak taat hanyalah “prank” belaka.
“Pemberian sanksi itu tidak ada dasar dan aturan yang dijalankan. Saya pikir itu cuma ngeprank rakyat dan membully perusahaan saja,” tegas Edi di hadapan puluhan petani yang membawa spanduk menagih janji Wakil Gubernur Bengkulu, Mian.
Petani menuntut agar Pemprov tidak sekadar berwacana. Edi juga menilai bahwa sejak Permentan 2013 hingga 2024, pesan pentingnya adalah membangun kemitraan antara petani dan perusahaan sawit.
Namun hingga saat ini, menurutnya, pemerintah Bengkulu belum juga mampu memfasilitasi kemitraan tersebut.
“Tanpa kemitraan, daya tawar petani sangat lemah. Pemerintah seharusnya menjadi fasilitator, bukan penonton,” tegasnya saat aksi kemarin.
Audiensi yang sempat difasilitasi bersama Asisten II Pemprov RA Deni dan Kepala Dinas TPHP M Rizon pun berakhir antiklimaks.
Merasa tidak ditanggapi serius, para petani akhirnya melakukan aksi walk out sebagai bentuk protes atas ketidakmampuan pemerintah merespons keluhan mereka.
Di tengah kondisi ini, harapan petani untuk harga yang adil dan perlindungan dari pemerintah kian menipis.
Sementara pabrik-pabrik terus membeli TBS dengan harga murah, petani semakin tertekan secara ekonomi.
Janji-janji sanksi yang tak kunjung ditegakkan justru menciptakan preseden buruk terhadap kredibilitas pemerintah daerah dalam tata kelola industri sawit. (Red)
📲 Ingin update berita terbaru dari Satujuang langsung di WhatsApp? Gabung ke channel kami Klik di sini.