Penulis: Pradikta Andi Alvat

Satujuang– Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam fase pasca reformasi didesain untuk memiliki independensi struktural, dengan pemisahan secara kelembagaan dengan TNI.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Independensi Polri merupakan pondasi dasar bagi transformasi Polri sebagai garda utama untuk menciptakan keamanan nasional dan stabilitas sosial-politik.

Akan tetapi, independensi struktural Polri yang dioperasionalisasi di alam demokrasi terlihat dalam praktikalnya melahirkan beberapa problema kontemporer yang kontraproduktif dengan semangat reformasi Polri.

Polri masih jauh panggang dari api atau masih jauh dari kata optimal meskipun telah ada perbaikan-perbaikan dalam melaksanakan tiga tugas utama Polri: melindungi, melayani, mengayomi masyarakat, menjaga keamanan dan ketertiban, serta menegakkan hukum.

Ketiga tugas utama Polri tersebut dalam realitasnya melahirkan beberapa problema-problema derivatif sebagai berikut.

Pertama, tingkat kepercayaan publik rendah

Polri merupakan lembaga penegak hukum yang memiliki tingkat kepercayaan publik paling rendah diantara institusi penegak hukum lainnya. Secara das sollen, Polri adalah lembaga penegak hukum yang paling dekat dengan rakyat, berhubungan langsung dengan rakyat, sehingga tingkat kepercayaan publik terhadap Polri idealnya haruslah tinggi.

Akan tetapi, yang terjadi malah sebaliknya. Realitas tersebut cukup untuk merefleksikan bahwa Polri masih belum dipercaya oleh masyarakat, dalam arti Polri gagal menjalankan fungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.

Berikut hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia terkait tingkat kepercayaan publik terhadap suprastruktur dan infrastruktur politik yang dipaparkan pada bulan Agustus lalu, berdasarkan rilis hasil survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia, Polri memiliki tingkat kepercayaan publik sebesar 67%, artinya mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan dibanding pada bulan April 2023 lalu.

PeringkatLembagaTingkat Kepercayaan Publik
1TNI92%
2Presiden89%
3Kejagung77%
4Pengadilan73%
5MPR68%
6KPK67%
7Kepolisian67%
8DPD66%
9DPR60%
10Parpol57%

 

Kedua, penegakan hukum yang tidak humanis

Di alam demokrasi, jaminan kebebasan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi aspek yang sangat fundamental. Bahkan dapat disimplifikasikan bahwa unsur esensial dari pada negara hukum adalah adanya jaminan dan perlindungan HAM serta adanya supremasi hukum yang berbasis pada aspek equality before the law (persamaan kedudukan di dalam hukum) dan due procces of law (penegakan hukum berdasarkan prosedur hukum dan hak asasi manusia).

Menurut data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), sepanjang Juli tahun 2022 hingga Juni tahun 2023 terdapat 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri sebagai pelaku, yang menyebabkan 187 orang tewas dan 1.363 orang terluka.

Mayoritas pelaku dibalik kekerasan berasal dari pelaksanaan fungsi satuan reserse kriminal yang terlibat dalam 426 kasus kekerasan. Selain itu, kesan penegakan hukum yang tidak humanis juga kerap ditampilkan oleh aparatur kepolisian secara narsistik, misalnya seringkali para oknum polisi khususnya pada satuan reserse kriminal yang mengupload foto bersama pelaku tindak pidana dalam keadaan yang terborgol dan tidak berdaya, seolah menunjukkan kedigdayaan dan kekuatan.

Ketiga, kultur relasi kuasa

Meskipun Polri saat ini berdiri sebagai lembaga sipil dan sudah bukan sebagai lembaga militer, akan tetapi, kultur-kultur militer agaknya masih cukup kuat menghiasi tubuh Polri. Ada perbedaan signifikan dalam interaksi kerja antara organ militer dengan organ sipil.

Organ militer meletakkan relasi dan interaksi kerja dalam posisi relasi kuasa yang kuat antara pimpinan dan bawahan. Oleh sebab itu, tidak ada demokrasi di dalam TNI, yang ada adalah relasi sistem komando dalam pelaksanaan tugas yang sifatnya imperatif.

Sedangkan dalam organ sipil, relasi interaksinya tidak bersifat sistem komando, melainkan checks and balances dengan memperhatikan keseimbangan dan proporsionalitas.

Akan tetapi, sistem komando di kepolsian yang berbasis relasi kuasa masih sangat kental sebagai sebuah kultur. Kasus Ferdy Sambo dapat merefleksikan bagaimana sistem komando berbasis relasi kuasa dioperasionalisasi untuk kepentingan pribadi dimana kepentingan tersebut melanggar hukum.

Ferdy Sambo dengan kuasanya sebagai Kadiv Propam (jabatan strategis di Mabes Polri) dapat menyuruh dan mengintimidasi para bawahannya untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar dan menghalangi proses hukum yang benar.

Keempat, kultur arogansi

Kultur arogansi kekuasaan juga masih banyak menghinggapi anggota Polri. Paradigma berpikir bahwa rakyat butuh polisi bukan polisi mitra dan pelindung rakyat seringkali merefleksikan bagaimana arogansi oknum kepolisian diperagakan.

Ditolaknya laporan polisi tanpa alasan yang jelas kerap menjadi fenomena empirik. Selain itu, seringkali juga terjadi tindakan-tindakan arogansi dari oknum anggota kepolisian yang tidak bertanggungjawab dan meresahkan publik sebagaimana yang dilakukan AKBP Achirudin maupun yang terbaru Bripka Nuril.

Kelima, backing/keterlibatan dalam kejahatan terorganisir

Kejahatan terorganisir seperti industri narkoba, tambang hingga perjudian seringkali melibatkan oknum aparat kepolisian sebagai backing/pelindung bahkan pemain utama, hal ini membuat sulitnya kejahatan-kejahatan terorganisir yang sangat merugikan masyarakat tersebut untuk diberantas, karena oknum penegak hukumnya sendiri yang justru terlibat dalam permainannya.

Apa yang dilakukan oleh eks Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa maupun eks Kapolres Bukittinggi AKBP Doddy yang memperjualbelikan hingga memasok narkoba menjadi bukti sahih, bahwa keterlibatan aparat kepolisian bahkan dari level pejabat utama (bintang dua) merupakan realitas yang bisa saja merefleksikan fenomena gunung es (tidak tampak, meskipun secara nyata banyak terjadi).

Keenam, belum optimalnya penggunaan teknologi

Dalam era globalisasi, penggunaan dan pemanfaatan teknologi dalam penegakan hukum memiliki nilai efisiensi dan efektivitas. Di negara-negara maju, penggunaan teknologi dalam penegakan hukum sudah menjadi kebutuhan pokok dan arus utama, sehingga membantu proses penegakan hukum yang efektif dan efisien.

Sayangnya, penggunaan teknologi dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian belum menjadi arus utama karena keterbatasan-keterbatasan teknis. Misalnya, terkait penggunaan drone tilang maupun e-tilang (tilang elektronik) yang hingga saat ini belum bisa diberlakukan dan diterapkan secara kontinu dan masif, terkesan sekadar gebrakan sambal belaka.

Ketujuh, fenomena no viral no justice

Sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, kepolisian harusnya bersikap responsif terhadap segala permasalahan hukum yang terjadi dalam masyarakat. Akan tetapi, yang terjadi malah sebaliknya, kepolisian seringkali terkesan lambat dalam merespons problematika peristiwa hukum masyarakat.

Kepolisian terkesan baru merespons setelah peristiwa hukum tersebut viral di masyarakat. Tekanan sosial lah yang kemudian mendorong proses penegakan hukum berjalan fair, akuntabel, dan imparsial.

No viral no justice kemudian menjadi slogan yang viral di media sosial, dimana menggambarkan rendahnya responsibilitas kepolisian dalam merespons peristiwa hukum aktual.

Kedelapan, kurangnya sinergitas internal

Keterbatasan jabatan utama yang dihadapkan dengan banyaknya perwira menengah dalam lingkup kepolisian menyebabkan persaingan memperebutkan jabatan utama (bintang) menjadi sangat tinggi.

Hal ini yang memicu adanya persaingan dan blok-blok bahkan kerajaan-kerajaan kecil dalam lingkup perwira Polri sebagaimana dijelaskan oleh Menkopolhukam, Prof. Mahfud MD ketika menjelaskan kesulitan internal dalam pengungkapan kasus Ferdy Sambo.

Kurangnya sinergitas dan soliditas internal di kepolisian khususnya pada level perwira berpotensi dapat menghambat tugas dan fungsi kepolisian secara efektif.

 

Penulis adalah PNS Analis Perkara Peradilan Mahkamah Agung