Jakarta – Kasus Razman Arif Nasution dan Firdaus Oiwobo kembali mengundang sorotan di kalangan praktisi hukum, Terutama soal Pemberian sanksi oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI) terhadap kedua pengacara tersebut.
Keputusan ini di anggap sebagai langkah penting dalam menjaga etika dan integritas profesi advokat, namun tidak lepas dari berbagai perdebatan mengenai mekanisme dan dasar pemberian sanksi. Berita Selengkapnya: di sini
Dr (C) Khaeruddin, S.Sy., S.H., M.H., seorang praktisi hukum yang telah lama berkecimpung di dunia litigasi dan kajian hukum, menyampaikan tanggapannya terkait kasus Razman Arif Nasution dan Firdaus Oiwobo yang tengah hangat di perbincangkan.
Menurut Khaeruddin, pemberian sanksi oleh Lembaga merupakan upaya untuk menegakkan kode etik profesi advokat yang selama ini di junjung tinggi.
“Sanksi yang di berikan kepada Razman Arif Nasution dan Firdaus Oiwobo harus di pandang sebagai bentuk upaya pembinaan agar setiap anggota advokat selalu menjaga profesionalisme dan etika dalam menjalankan tugasnya,” ujar Khaeruddin saat di hubungi wartawan, Jumat (14/2/25).
Dalam paparan lebih lanjut, Khaeruddin menekankan, Pemberian sanksi memang perlu untuk menjaga integritas profesi, namun penting pula bagi lembaga kita untuk memastikan bahwa setiap putusan di ambil secara objektif dan proporsional dan mengacu kepada undang-undang 18 tahun 2003 tentang Advokat:
1. Bahwa advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh organisasi Advokat dan salinan surat pemberhentian sebagaimana dimaksud disampaikan ke Mahkamah Agung (MA) RI, Pengadilan Tinggi dan lembaga penegak hukum lainnya.
2. Alasan berhenti dan dapat di berhentikan dari profesinya secara tetap dengan alasan:
A. Permohonan sendiri
B. Di jatuhi pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam hukuman 4 tahun atau lebih.
C. Berdasarkan keputusan organisasi advokat.
3. bahwa tindakan yg dilakukan oleh Rasman dan firdaus masuk katagori diberhentikan berdasarkan keputusan organisasi advokat, akan tetapi sangat disayang organisasi advokat yang memberhentikan keduanya tidak memberikan hak jawab sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 ayat 3 UU Advokat yang berbunyi:
“Sebelum advokat di kenai tindakan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) kepada yg bersangkutan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri”.
4. Bahwa yang memberhentikan seorang advokat adalah organisasi adavokat melalui dewan kehormatan organisasi advokat, walaupun pada prakteknya pemberhentian oleh suatu organisasi adavokat tidak berarti jika advokat yang diberhentikan tersebut pindah ke organisani advokat lain karena sistem organisasi advokat di indosenia bersif multi bar (Lebih dari satu organisasi advokat).
5. Bahwa di sisi lain, tindakan yang di lakukan oleh kedua advokat tersebut berpotensi melakukan tindakan penghinaan terhadap pangadilan (contemt of court) dan telah bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukan sikap tindak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal 6 huruf C undang-undang Nomor 18 tahun 2003.
6. jenis tindakan yang paling berat terhadap pelanggaran kode etik berupa pemberhentian tetep dari profesinya
“Proses evaluasi yang di lakukan oleh KAI hendaknya melibatkan mekanisme yang objektif dan akuntabel, sehingga setiap keputusan sanksi dapat di pertanggungjawabkan kepada publik serta menghindarkan ruang bagi adanya interpretasi yang bersifat subjektif atau politis,” tambahnya.
Khaeruddin menambahkan, transparansi proses evaluasi juga penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum dan lembaga profesi advokat.
“Kita tidak bisa menafikan bahwa dalam praktik hukum, terkadang terdapat perbedaan pendapat yang mendalam mengenai interpretasi suatu peraturan atau etika profesi,” pungkasnya.
“Namun, jika perbedaan tersebut sampai pada titik dimana merugikan kepercayaan publik terhadap profesi advokat, maka langkah tegas seperti pemberian sanksi memang perlu di lakukan,” jelasnya. (AHK)