Bengkulu – Ketua Lembaga Gerakan Masyarakat Pengawas Birokrasi (Gemawasbi) Provinsi Bengkulu, Jevi Sartika SH, menyebut KPK telah melakukan pembegalan Demokrasi di Bengkulu.

Hal ini diutarakan Jevi sebagai wujud kekecewaannya terhadap aksi pengamanan sejumlah pejabat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bengkulu dan calon gubernur (Cagub) Bengkulu, Rohidin Mersyah pada Sabtu (23/11) malam.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

“KPK telah melanggar kesepakatan yang mereka buat sendiri, ini adalah bentuk nyata pembegalan Demokrasi,” tegas Jevi, Minggu (24/11/24).

Pengamanan sejumlah pihak yang dilakukan oleh KPK di detik-detik akhir menuju hari pencoblosan terkesan janggal dan kental berbau politik.

Aksi ini kata Jevi, telah merugikan salah satu pihak sekaligus menguntungkan pihak lain yang sedang menghadapi pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Provinsi Bengkulu.

“Kita tunggu di Polresta kota Bengkulu dari tadi malam, hingga siang dan malam ini, belum juga ada keterangan dari KPK. Apa yang harus ditutupi, jelaskan saja agar tidak simpang siur,” imbuhnya.

Untuk diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyatakan kesepakatan untuk menunda proses hukum calon kepala daerah selama gelaran Pilkada 2024.

Dilansir dari Tempo.co, Selama kurang lebih 3 bulan, mulai September hingga pengumuman, proses hukum calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah yang belum ditetapkan sebagai tersangka akan ditunda.

Juru bicara KPK Tessa Mahardhika mengatakan langkah ini diambil untuk mencegah penegakan hukum dijadikan alat oleh pihak tertentu untuk menjatuhkan lawan politiknya.

“Jadi KPK tidak ingin penegakan hukum ini ditunggangi oleh orang atau kelompok politik tertentu untuk menjatuhkan lawan politiknya selama masa Pilkada,” kata Tessa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (3/9).

Tessa juga menyatakan sikap KPK ini tidak berubah jika dibandingkan dengan kontestasi Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024 lalu. Dia kemudian mencontohkan proses penyidikan salah satu calon kepala daerah yang sudah ditetapkan tersangka tetap berlanjut.

Disisi lain, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa langkah menunda proses hukum calon kepala daerah diambil untuk memastikan kontestasi demokrasi berjalan objektif dan bebas dari manipulasi politik.

Harli menyebut, kebijakan penundaan ini bukan bertujuan untuk melindungi pelanggaran hukum, melainkan untuk menjaga integritas proses demokrasi.

“Saya mau tegaskan dua hal: pertama, bukan berarti hukum melindungi kejahatan; kedua, kami ingin menjaga objektivitas dari proses demokrasi agar tidak ada kampanye hitam, sehingga tidak ada calon yang memanfaatkan isu hukum untuk menjatuhkan calon lain,” ujar Harli kepada wartawan saat ditemui di Jakarta Selatan, Senin (2/9)

Menurut Harli, Kejagung berupaya memastikan agar kontestasi politik berjalan adil.

Hal itu dilakukan dengan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap calon untuk berpartisipasi tanpa adanya tekanan atau manipulasi melalui isu hukum.

“Kami harus fair dan memberikan kesempatan kepada semua calon untuk menggunakan pesta demokrasi ini sebagai hak mereka,” tutur Harli.

Penundaan proses hukum ini merujuk pada Memorandum Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang berfokus pada optimalisasi penegakan hukum serta upaya meminimalisasi dampak penegakan hukum dalam pelaksanaan Pilkada 2024.

Harli mengatakan, aturan penundaan tersebut tetap berlaku sepanjang masa Pilkada berlangsung.

Pihaknya, lanjut dia, memastikan bahwa setelah pemilihan usai, proses hukum akan kembali berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

“Aturan itu masihberlaku, dan setelah pemilihan selesai, proses hukum akan terus dilaksanakan dan di Jalankan,” kata Harli menutup pernyataannya soal penundaan proses hukum calon kepala daerah. (Red)