Satujuang- Kelanjutan perkara dugaan korupsi Puskesmas Pasar Ikan Kota Bengkulu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu ajukan Kasasi.
“Kita melakukan upaya hukum yaitu kasasi, terkait adanya pemberitaan bebas itu bukan bebas murni, tapi onslag,” tegas Asisten Pidana khusus (Aspidsus) Kejati Bengkulu, Suwarsono SH MH, Kamis (29/12/23).
Suwarsono mengatakan, kasus tersebut bukan divonis bebas, melainkan putusannya terhadap terdakwa adalah onslag (lepas dari segala tuntutan hukum).
Onslag itu terkait perbuatan pemotongan yang dilakukan. Hakim berpendapat pemotongan itu bukan perbuatan tindak pidana.
“Kami tidak ikut campur dalam putusan itu karena itu kewenangan hakim, tetapi kami melakukan upaya hukum yaitu kasasi,” ujarnya.
Langkah ini diambil pihak Kejati sebagai respon atas putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi yang memvonis bebas mantan Kepala Puskesmas Pasar Ikan dr.Raden Ajeng Yeni Warningsih.
Terkait dugaan korupsi pemotongan dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Puskesmas Pasar Ikan tahun anggaran 2022 yang menimbulkan kerugian negara Rp.147 juta.
Sebelumnya, putusan bebas Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkulu terhadap dr.Radem Ajeng Yeni Warningsih sempat dipertanyakan.
Sidang yang diketuai Majelis Hakim Dwi Purwanti ini menyatakan bahwa, terdakwa tidak terbukti bersalah atas semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU)
“Terdakwa tidak memiliki niat jahat, dan apa yang dilakukan terdakwa bukanlah tindak pidana korupsi. Maka terdakwa dibebaskan dari tindak pindana hukum,†jelas Majelis Hakim dalam amar putusannya pada sidang di Pengadilan Negeri Bengkulu, Selasa (19/12) lalu.
Kasus ini awalnya ditangani Tim Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Bengkulu yang akhirnya bergulir hingga ke meja hijau.
Pelimpahan berkas penyidikan perkara ini dilakukan Subdit Tipikor Ditreskrimsus Polda Bengkulu kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu pada Selasa (26/9) lalu.
Dalam perkara ini, Direktur Reskrimsus Polda Bengkulu Kombes Pol I Wayan Riko Setiawan melalui Kasubdit Tipikor Kompol Khoiril Akbar menyatakan total Dana BOK yang dicairkan pada tahun anggaran 2022 berjumlah 749 juta dan total uang yang dipotong sebesar Rp.146 juta.
Pemotongan dilakukan dari uang perjalanan dinas sebesar 400 juta yang dipotong menjadi 2 tahap sebesar 95 juta di tahap 1 dan 51 juta di tahap 2.
“Kita terima berkas perkara dan tersangka dari penyidik, ada sekitar 2 box berkas barang bukti, termasuk uang juga yang kita terima, habis ini kita susun dakwaan agar segera proses persidangan,” kata Rozano Yudistira Kasi Penuntutan Kejati Bengkulu saat itu.
Pada Senin (30/10) lalu, Made Sukiade SH selaku kuasa hukum terdakwa saat wawancara dengan wartawan mengakui bahwa benar adanya dilakukan pemotongan oleh terdakwa.
Namun, kata Made, pemotongan tersebut bedasarkan usulan kebersamaan dan sudah dirapatkan bersama-sama.
“Duit transportasi yang hak mereka adalah Rp.80 ribu, kegiatan sudah dilaksanakan, SPJ nya sudah ditandatangani, maka dana Rp.80 ribu adalah hak mereka masing-masing, setelah itu baru dilakukan seving sebesar Rp.30 ribu kepada masing-masing staf. Dana masing-masing 30 ribu kemudian dibagikan kembali kepada mereka juga,” sebut Made.
Sementara disisi lain, salah seorang pelapor membenarkan uang seving tersebut ada yang dikembalikan, namun jika dihitung antara uang potongan dan yang dikembalikan muncul nominal selisih yang cukup besar.
Untuk satu kegiatan yang dilaksanakan pada tahun 2022 saja berdasarkan perhitungan Tim Penyidik Tipikor Polda Bengkulu muncul selisih Rp.60 juta yang tidak diketahui memana arahnya.
“Itu baru 1 kegiatan, belum kegiatan yang lain. Sementara selama 2022 ada banyak kegiatan yang menggunakan dana BOK. Dia sudah lama loh menjabat disana. Kemudian pengakuan honorer yang tandatanggannya dipalsukan, bagaimana,” ketus salah seorang pelapor, Rabu (27/12) kemarin.
Seperti diketahui, dalam kasus ini sebelumnya JPU Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu menuntut terdakwa dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp.200 juta.
JPU menilai, terdakwa terbukti melanggar pasal 12 junto pasal 18 ayat 1 huruf B ayat 2 ayat 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimanaa telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Banyaknya bukti jelas yang bermunculan inilah yang dipertanyakan oleh para pelapor, mengapa PN Bengkulu justru menyatakan bebas terhadap terdakwa. (Red)