Semarang– Prosesi Ngunduh mantu KRT HA Dawud Budiyatno Nata Ajinagara, warga RT 01 RW 01, Kelurahan Jatisari, Kecamatan Mijen, Kota Semarang sungguh spesial, unik dan spektakuler.
Betapa tidak, resepsi ngunduh mantu yang di gelar Minggu (27/2/22) tersebut diikuti pangombyong (pengiring) pasangan penganten tak kurang 40 orang dengan mengenakan busana jangkep adat Jawa.
Ngunduh mantu sendiri biasanya dilaksanakan setelah lima hari acara pernikahan usai.
Meskipun ngunduh mantu sendiri bukanlah sebuah kewajiban, namun banyak orang yang masih menyelenggarakan salah satu prosesi pernikahan adat Jawa ini.

Secara umum adat tata cara ngunduh mantu yang lazim dilaksanakan adalah pertama, hadirnya pangombyong (pengiring) sepasang penganten dari rumah mempelai perempuan.
Saat itu terjadi dialog penyerahan pengantin dari mempelai perempuan kepada keluarga mempelai pria yang disebut Imbal Wicara, setelah itu, memberikan minum kepada mempelai pengantin yang disebut Tirta Suci.
Kemudian sang ayah mempelai pria menyampirkan kain sindur ke pundak pasangan pengantin untuk dituntun menuju pelaminan yang disebut Sindur Binayang.
Setelah itu pasangan pengantin melaksanakan Sungkem kepada kedua orang tua mempelai pengantin. Dan diakhiri dengan sambutan dari keluarga mempelai pria.

40 orang Pangombyong (pengiring) pasangan penganten dengan mengenakan busana jangkep adat Jawa.
Begitupun dalam upacara ngunduh mantu yang diselenggarakan KRT HA Dawud Budiyatno Aji Natanagara yang juga penasehat Permadani (Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia) Cabang Kecamatan Mijen, Kota Semarang ini.
Upacara ngunduh mantu ini dengan menyertakan para siswa pawiyatan Bregada 1 – 3 yang telah lulus dan masih aktif belajar adat budaya Jawa dalam wadah Permadani’
Para siswa ini ikut mangayubagya nyengkuyung (saling bantu) dengan menjadi pengiring penganten dan sekaligus sebagai among tamu.
Edi Purnomo, Ketua Permadani Cabang Kecamatan Mijen menjelaskan, acara ngunduh mantu yang di selenggarakan di kediaman penasehat Permadani ini sebagai bentuk nyengkuyung sesama warga Permadani.
“Ya sebagai yang diberi amanah untuk menjadi pangarsa (ketua) Permadani Kecamatan Mijen, saya berupaya mengajak temen – temen seluruh warga Permadani Kecamatan Mijen, untuk bisa membuatkan tradisi yang baik,” ujar Edi.
“Ketika salah satu keluarga kita yang mempunyai hajat, maka kita harus bisa nyengkuyung, dalam bentuk apapun yang bisa kita wujudkan dalam nyengkuyung tersebut,” tutur Edi usai upacara prosesi ngunduh mantu di kediaman Njeng Dawud, Mijen Kota Semarang.
Dituturkan Edi, salah satu ciri dari warga Permadani adalah meluangkan waktu untuk saling membantu dalam setiap hajat tradisi Jawa dengan menggunakan busana Jawa jangkep.
Ada yang menarik dalam prosesi adat ini, yang menurut Edi disebut “rayahan” (rebutan). Yakni, orang dengan memikul beberapa peralatan rumah tangga.
“Peralatan rumah tangga ini seperti panci, wajan, sutil, sendok, gayung dan lain sebagainya, yang dijadikan rebutan untuk para tamu yang hadir saat upacara ngunduh mantu,” terang Edi.
Menurutnya, rayahan dengan berebut peralatan rumah tangga adalah merupakan lambang bahwa alat-alat rumah tangga yang telah dipakai tersebut sudah tidak digunakan lagi seiring dengan anak bungsu telah menikah.
Hal tersebut tambah Edi, wujud orang tua yang telah mendidik anak-anaknya mulai dari kecil hingga dewasa dan menikah.
“Istilah Jawanya “mentas” dengan mantu yang terakhir, maka alat-alat rumah tangga tersebut dianggap sudah tidak dipakai lagi, karena anak-anaknya sudah dinikahkan semua,” urai Edi.
Adapun disebut rayahan karena untuk mendapatkan peralatan rumah tangga tersebut dengan saling berebut karena barangnya tidak mencukupi untuk diberikan kepada tamu yang hadir.
Edi menharapkan, dengan rayahan ini para tetangga ataupun teman-teman yang telah membantu proses pernikahan mendapatkan berkah.
“Sehingga nantinya dapat melaksanakan mantu yang pungkasan (terakhir) seperti apa yang telah dilakukan oleh pamengkugati (yang punya hajat) dapat mengentaskan semua anak-anaknya dalam membangun rumah tangganya,” ucap Edi.
Dengan adanya adat budaya luhur ini, Edi selaku warga Permadani akan tetap berusaha membudayakan budaya-budaya yang bernilai luhur untuk menjadi penguatan karakter bangsa.
Ia juga berharap generasi muda dapat tetap melestarikan budaya-budaya luhur seperti ini, agar karakter bangsa semakin kuat. (had)