Menu

Mode Gelap
Hutan Lindung Bengkulu Darurat Sampah, Minim Perhatian Masyarakat dan Pemerintah Komisi II DPRD Kota Blitar Bersama Disperindag Audensi Bersama Pedagang Pasar Legi Sisi Gelap Unjuk Rasa Ribuan Honorer di Bengkulu, Diwarnai Pengancaman Oknum Pejabat FoSSEI Gelar Rakernas 2025, Bengkulu Jadi Tuan Rumah Presiden Prabowo Siap Luncurkan Program Kesehatan Gratis Nasional Megawati Sampaikan Pesan Penting kepada Prabowo Lewat Ahmad Muzani

SJ News

“Pers Survival di Era Digital” Masih Layakkah Media Massa di Era Digital

badge-check


Sri Mulyadi (memegang Mikrofon) wartawan senior Penasehat PWI Jateng menjadi narasumber didampingi oleh Arie Widiarto, unsur wartawan muda dan Dr Aminnudin MA, pemerhati media Undip dalam sambung rasa lintas generasi wartawan memeringati HPN 2022 di Gedung Pers Jateng Jalan Tri Lomba Juang Kota Semarang. Perbesar

Sri Mulyadi (memegang Mikrofon) wartawan senior Penasehat PWI Jateng menjadi narasumber didampingi oleh Arie Widiarto, unsur wartawan muda dan Dr Aminnudin MA, pemerhati media Undip dalam sambung rasa lintas generasi wartawan memeringati HPN 2022 di Gedung Pers Jateng Jalan Tri Lomba Juang Kota Semarang.

Semarang – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Tengah menggelar sarasehan dan sambung rasa dengan tema “Pers Survival di Era Digital.”

Sarasehan ini bagian dari rangkaian kegiatan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 yang dilaksanakan di Gedung Pers PWI Jateng Jalan Tri Lomba Juang Kota Semarang, Rabu (9/2/22).

Di era digital dan maraknya media sosial saat ini, secara nasional media massa/pers jelas masih dibutuhkan, sebab untuk memerangi berita-berita hoax, isu SARA maupun pornografi dan isu hoax lainnya.

Hal itu disampaikan oleh Sri Mulyadi, wartawan senior yang menjadi narasumber dalam sarasehan wartawan lintas generasi Hari Pers Nasional (HPN) 2022.

Kegiatan dilaksanakan sederhana mengingat pandemi Covid-19 masih belum usai.

Disampaikan pula bahwa, dari hasil survey Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) diperoleh data kurang lebih 200 juta penduduk Indonesia adalah pengguna handphone.

Artinya, jumlah itu secara pasti juga menggunakan atau mengakses medsos.

“Dari 10 ribu responden yang diteliti, tujuh puluh persen memperoleh informasi dari medsos, yang belum pasti bisa dipertanggungjawabkan kode etik jurnalistiknya dan selebihnya dari media mainstream,” jelas Ketua Penasehat PWI Jateng ini.

Selain itu, lanjutnya, banyak juga media mainstream atau media massa malah berkiblat pada medsos, yang jelas-jelas masih dipertanyakan kualitas jurnalistik atau kode etik jurnalistiknya.

“Saat ini banyak media online yang malah berkiblat pada medsos, yang menayangkan berita tanpa adanya editing.

Sebab dikejar tuntutan banyaknya viewer dari konten-konten yang dihasilkan,” ungkap Mbah Mul, sapaan akrab narasumber yang sudah 37 tahun terjun di dunia jurnalistik ini.

Padahal, menurut Mbah Mul, konten-konten yang dihasilkan tersebut perlu dipertanyakan pertanggungjawaban sumber beritanya, apakah masih layak untuk disebut karya jurnalistik

Oleh sebab itu, disampaikan juga oleh Mbah Mul, bahwa Pers Survival di Era Digital ini, merupakan tantangan bagi SDM wartawan.

Selain harus cakap dalam menyajikan konten yang kreatif, juga harus tetap menjaga dan mengimplementasikan kode etik jurnalistik dalam karya-karya jurnalistiknya.

“Karena jika karya jurnalistik tidak mematuhi kode etik jurnalistik, maka lama-kelamaan akan ditinggalkan oleh pembacanya,” tegasnya.

Tetap Dibutuhkan

Demikian juga seperti yang disampaikan oleh Dr Aminnudin, MA pemerhati pers dari Universitas Diponegoro Semarang.

Aminnudin mengatakan, bahwa memang benar saat ini media mainstream atau media massa itu masih sangat dibutuhkan, sebab untuk menghadapi maraknya media sosial yang semakin hari semakin tak terkendali.

Sebab, dengan karya jurnalistik, masih ada kode etik jurnalistik yang dapat membatasi berita-berita yang dinilai tidak bisa dipertanggungjawabkan.

“Jadi jika karya jurnalistik itu, metodenya menggunakan 5 W 1 H. Penyajiannya sesuai fakta, baik fakta sosial maupun fakta personal, yang bisa disebut karya sastra,” jelas Aminnudin. (had)

Trending di SJ News