Jakarta – Kasus Akseyna yang Tidak Terpecahkan: Pelajaran dan Tantangan bagi Penegakan Hukum di Indonesia
Kasus kematian Akseyna Ahad Dori, mahasiswa Universitas Indonesia yang ditemukan tewas pada Maret 2014 di Danau UI, Depok, meninggalkan banyak tanda tanya yang hingga kini belum terjawab dengan jelas. Meskipun ada berbagai spekulasi yang beredar, baik terkait dengan kemungkinan bunuh diri maupun pembunuhan, penyelidikan resmi belum berhasil mengungkapkan secara pasti penyebab kematian Akseyna. Ketidakpastian ini memunculkan sejumlah pertanyaan besar, tidak hanya mengenai proses penyelidikan itu sendiri, tetapi juga tentang bagaimana sistem peradilan pidana Indonesia menangani kasus-kasus yang penuh dengan ketidakjelasan dan keraguan.
Kasus ini menyoroti tantangan besar yang dihadapi oleh sistem hukum Indonesia, terutama dalam hal penyelesaian kasus yang rumit dan sulit untuk mendapatkan bukti yang kuat. Dalam konteks ini, kita perlu merenung sejenak mengenai beberapa aspek yang perlu diperhatikan terkait dengan kasus Akseyna, serta pasal-pasal pidana yang relevan untuk mengatasi ketidakpastian dalam kasus semacam ini.
Ketidakpastian Kasus Akseyna: Mengapa Belum Terpecahkan?
Kasus Akseyna telah memunculkan banyak pertanyaan, terutama terkait dengan apakah kematiannya merupakan akibat dari bunuh diri, kecelakaan, atau bahkan pembunuhan. Beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab utama dari ketidakpastian penyelidikan ini antara lain:
Kurangnya Bukti yang Cukup: Meskipun ditemukan tubuh Akseyna di danau, tidak ada bukti konkret yang mengarah pada satu kesimpulan yang pasti. Ketiadaan saksi mata atau rekaman video yang dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi membuat kasus ini semakin sulit untuk dipahami.
Kondisi Mental dan Psikologis Korban: Sejumlah spekulasi mengatakan bahwa Akseyna sempat mengalami depresi sebelum kematiannya. Hal ini tentu menjadi faktor penting dalam menentukan apakah kematian tersebut disebabkan oleh bunuh diri atau faktor lain. Namun, kurangnya bukti medis atau psikologis yang jelas membuat spekulasi ini tidak bisa diterima begitu saja sebagai kebenaran.
Proses Penyidikan yang Lambat: Kasus ini sempat mendapat perhatian besar dari masyarakat, namun lambatnya proses penyelidikan menambah ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Beberapa pihak bahkan menganggap bahwa penyelidikan tidak dilakukan dengan cukup cermat, atau bahkan terkesan diperlambat.
Motif dan Kepentingan Lain:
Ada dugaan bahwa kasus ini bisa saja melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan, baik dari lingkungan kampus atau di luar itu. Namun, tanpa bukti yang cukup kuat, semua dugaan ini tetap menjadi spekulasi belaka.
Pasal-Pasal Pidana yang Relevan dalam Kasus Akseyna, Jika mengacu pada dugaan bahwa kematian Akseyna bukan disebabkan oleh bunuh diri, melainkan tindak pidana, beberapa pasal pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bisa saja diterapkan. Namun, masalah utama yang dihadapi dalam kasus ini adalah keterbatasan bukti dan fakta yang jelas. Berikut adalah beberapa pasal yang relevan untuk mengatasi situasi ini, jika bukti-bukti yang diperlukan dapat ditemukan:
1. Pasal 338 KUHP: Pembunuhan
Jika terbukti bahwa Akseyna meninggal akibat tindakan pihak lain yang sengaja menghilangkan nyawanya, maka pasal 338 KUHP tentang pembunuhan bisa dikenakan. Pasal ini menyatakan bahwa siapa pun yang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dapat dihukum penjara paling lama 15 tahun.
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, dihukum dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Jika dalam penyelidikan ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa kematian Akseyna bukanlah bunuh diri, tetapi pembunuhan, maka pasal ini dapat menjadi dasar hukumnya. 2. Pasal 340 KUHP: Pembunuhan Berencana
Jika terbukti bahwa kematian Akseyna disebabkan oleh tindakan yang direncanakan sebelumnya, maka pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana bisa dikenakan. Ini lebih berat daripada pasal pembunuhan biasa karena ada elemen perencanaan.
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dihukum dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun.”
Penerapan pasal ini memerlukan pembuktian bahwa ada niat dan perencanaan untuk melakukan tindak kekerasan yang berujung pada kematian. Dalam hal ini, pihak penyelidik perlu menggali lebih dalam mengenai latar belakang sosial dan hubungan Akseyna dengan orang-orang di sekitarnya.
3. Pasal 351 KUHP: Penganiayaan
Jika bukti menunjukkan bahwa Akseyna mengalami kekerasan fisik yang menyebabkan kematiannya, pasal penganiayaan bisa diterapkan. Pasal 351 KUHP mengatur penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka atau bahkan kematian.
“Barang siapa dengan sengaja menganiaya orang lain sehingga mengakibatkan luka-luka berat atau kematian, dihukum dengan pidana penjara sesuai dengan tingkat keparahan akibat penganiayaan tersebut.”
Pasal ini akan relevan jika ditemukan bukti bahwa Akseyna mengalami penganiayaan fisik sebelum akhirnya meninggal. Misalnya, jika ditemukan tanda-tanda kekerasan atau luka yang menunjukkan bahwa kematian tersebut bukan akibat kecelakaan atau bunuh diri.
4. Pasal 359 KUHP: Kelalaian yang Mengakibatkan Kematian
Jika ternyata kematian Akseyna disebabkan oleh kelalaian seseorang atau pihak tertentu yang mengabaikan keselamatan Akseyna, pasal ini dapat diterapkan. Misalnya, jika ada pihak yang tidak mengindahkan peringatan atau tidak bertanggung jawab dalam menjaga keselamatan, padahal tahu kondisi korban bisa berisiko.
“Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia, dihukum dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Penerapan pasal ini lebih bersifat pada kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan korban kehilangan nyawa, meskipun tidak disengaja.
Kasus kematian Akseyna Ahad Dori adalah cermin dari betapa rumitnya sebuah penyelidikan hukum yang berhubungan dengan kematian yang penuh ketidakpastian. Pasal-pasal yang telah disebutkan memberikan gambaran mengenai alat hukum yang tersedia untuk menangani kasus semacam ini. Namun, masalah utama yang masih ada adalah bagaimana proses penyelidikan dapat lebih cepat, transparan, dan tepat sasaran. Penegakan hukum yang adil harus memastikan bahwa semua kemungkinan pelanggaran hukum dapat terungkap dan ditindak dengan benar, untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarga yang ditinggalkan.
Oleh: Nonny Nurhata, Mahasiswi Universitas Pamulang PSDKU Serang