Penulis Cerpen: I Ketut Astawa
Di sebuah warung kopi kecil di pinggir kota metropolitan, Dimas, pemuda penuh semangat, duduk bersama pak Muis, bapak tua pemilik warung kopi yang terkenal dengan celoteh tajam dan humornya.
Sambil menyeruput kopi pahit, keduanya mulai berbincang tentang kondisi bangsa.
Dimas:
“Kopi di warung pak Muis ini memang selalu spesial bagi penikmat kopi. Tiap meminum kopi buatan pak Muis, Rasanya pahit, tapi tetap bikin nagih. Persis seperti kondisi negara kita sekarang, ya. Pahitnya terasa, tapi kita terpaksa terus minumnya setiap hari.”
Muis:
“Hehehe, bener itu, dik Dimas. Kopi itu ibarat seperti laporan keuangan negara yang selalu pahit tapi harus di sruput dan ditelan. Dulu, kita berharap kopi itu manis, tapi sekarang yang ada cuma gula buatan untuk sekedar menyamarkan rasa pahitnya.”
Dimas:
“Ngomong-ngomong soal gula, pak Muis pernah dengar nggak, soal duit ratusan triliun yang menguap gara-gara korupsi pejabat tinggi? Rasanya kayak gula yang dicampur air sabun, jika di aduk jadi busa.”
Muis:
“Iya jelas dengar toh dik Dimas. Bayangin, duit sebanyak itu, yang seharusnya buat membangun negeri malah masuk ke kantong-kantong tebal para pejabat. Di tambah yang lagi viral sekarang, soal isu BBM oplosan, wah tambah ngeri lagi itu.”
Dimas:
“Iya pak, Dulu, pasca kemerdekaan, cita-cita para pahlawan kita, ingin membangun Indonesia jadi negara maju dan mandiri. Namun sekarang, yang terjadi malah jadi surga untuk para koruptor. Kita bekerja keras seolah-olah lagi ikut lomba lari maraton, padahal hadiahnya cuma tiket nonton sandiwara kasus korupsi yang tak berkesudahan.”
Muis:
“Betul sekali. Rasanya, kerja keras itu sudah seperti usaha beli biji kopi yang harganya naik tiap tahun. Rakyat sekarang harus rela merogoh kocek lebih dalam buat kebutuhan pokok, padahal pendapatan nyaris nggak naik. Jadi, kalau kita tiap pagi minum kopi, kita juga harus siap menelan pahitnya ekonomi yang serba kocak ini.”
Dimas:
“Ngomongin soal kocak, sekarang peluang kerja itu udah kayak kopi yang kualitasnya menurun. Banyak pemuda lulusan terbaik malah jadi buruh informal, atau malah sibuk cari-cari ‘peluang’ di jalanan. Bukannya berkarya, mereka malah jadi korban sistem yang serba korup.”
Muis:
“Memang ironis dik, Generasi muda yang seharusnya jadi harapan bangsa malah terjebak di dalam lingkaran setan kemiskinan dan kriminalitas. Narkoba merajalela, dan banyak dari mereka yang terjerumus ke dunia hitam hanya karena keputusasaan.”
Dimas:
“Betul Pak, saya sering mikir gini, siapa yang sebenarnya menang dari semua kekacauan ini? Para pejabat tinggi yang menikmati pesta mewah, sedangkan rakyat kecil? Kita harus rela membayar mahal untuk setiap tetes keringat, dan akhirnya terpaksa menelan pahitnya keadaan.”
Muis:
“Jelas, dik. Para pejabat itu ibarat barista yang hanya tau menyeduh kopi pahit tanpa tau memikirkan kemauan pelanggan. Mereka sibuk dengan urusan sendiri, sementara rakyat harus rela duduk di warung kopi yang nggak pernah bisa memuaskan rasa haus keadilan.”
Dimas:
“Kadang saya ngebayangin, kalau nanti kita bisa ubah sistem ini, apakah negara ini akan jadi seperti secangkir kopi yang nikmat ya pak? Di mana setiap tetesnya terasa manis karena kejujuran dan kerja keras bersama, bukan lagi pahit karena korupsi yang menyengsarakan.”
Muis:
“Amin, dik Dimas. Tapi itu bukan cuma tentang menunggu kopi matang. Kita juga harus berani mengambil langkah. Mulai dari hal kecil di lingkungan kita dulu, hingga menuntut transparansi di tingkat pemerintahan. Karena kalau cuma ngeluh sambil ngopi, nanti hidup ini seperti ampas kopi…hehehe.”