Oleh : Handyka Pribowo Putra
Masyarakat adalah struktur fundamental yang mengisi roda berputar dalam tatanan hidup suatu bangsa. Masyarakat yang tumbuh dan berkembang dalam suatu negara memiliki tujuan hidupnya masing-masing, baik dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Keberagaman tujuan ini menuntut adanya mekanisme yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan tanpa menimbulkan benturan yang dapat mengganggu ketertiban sosial. Dalam konteks ini, negara berperan sebagai pengatur melalui pembentukan aturan yang menjadi pedoman dalam interaksi antar warga negara.
Secara normatif, aturan yang dimaksud memiliki landasan hukum yang kuat, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal ini mengatur hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi sampai dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Keberadaan hierarki ini bertujuan untuk menciptakan keteraturan dalam sistem hukum nasional serta memastikan bahwa setiap regulasi yang diterbitkan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dalam implementasinya, peraturan perundang-undangan tersebut harus disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan dan dinamika masyarakat. Setiap tingkatan peraturan memiliki ruang lingkup dan kewenangannya masing-masing, yang disesuaikan dengan tingkat pemerintahan yang menerbitkannya.
Dengan demikian, peraturan yang berlaku di tingkat daerah dapat lebih spesifik dalam menjawab permasalahan yang bersifat lokal, sementara regulasi (peraturan) di tingkat nasional mengatur hal-hal yang lebih luas dan fundamental. Mekanisme ini memungkinkan sistem hukum untuk tetap fleksibel dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan yang muncul di masyarakat.
Produk hukum yang dapat dikatakan bersinggungan langsung dengan masyarakat dalam hierarki Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah Undang-Undang. Dalam Pasal 1 ayat 3 UU 12/2011, Undang-Undang didefinisikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden.
Proses pembentukan Undang-Undang ini mencerminkan prinsip demokrasi perwakilan, di mana DPR bertindak sebagai representasi masyarakat dalam menentukan kebijakan hukum yang berlaku secara nasional.
Dalam perumusannya, Undang-Undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden secara Dass Sollen (Law in Book) seharusnya mencerminkan kepentingan masyarakat, baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun politik. Dengan kata lain, peraturan yang disusun idealnya merupakan wujud dari aspirasi rakyat untuk menciptakan kesejahteraan dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun, dalam prosesnya, perumusan Undang-Undang tidak hanya melibatkan aspek normatif, tetapi juga dipengaruhi oleh dinamika politik dan kepentingan berbagai pihak yang terlibat dalam proses legislasi. DPR sebagai lembaga legislatif memiliki kewenangan besar dalam menentukan substansi Undang-Undang, sehingga penting bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam mengawal proses pembentukannya. Mekanisme seperti uji publik, konsultasi dengan akademisi, serta partisipasi kelompok masyarakat sipil menjadi bagian penting dalam memastikan bahwa Undang-Undang yang disahkan tetap berpijak pada kepentingan rakyat.
Selain itu, keseimbangan antara aspek prosedural dan substansial dalam penyusunan Undang-Undang juga perlu diperhatikan agar peraturan yang dihasilkan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga dapat diterapkan secara efektif dalam kehidupan sehari-hari Namun di sinilah letak permasalahannya muncul.
Secara Dass Sein, kerap kali produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga legislatif tidak sepenuhnya mencerminkan aspirasi masyarakat. Bahkan, dalam beberapa kasus, aturan yang disahkan justru menimbulkan dampak negatif dengan membatasi kebebasan dan menghambat kesejahteraan rakyat. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya conflict of interest dari pihak-pihak yang berwenang, di mana kepentingan politik, ekonomi, atau kelompok tertentu lebih diutamakan dibandingkan kepentingan publik. Akibatnya, produk hukum yang dihasilkan lebih menguntungkan segelintir pihak daripada memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
Padahal, secara yuridis, mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang ini berfungsi sebagai pedoman dalam penyusunan regulasi agar setiap aturan yang dibuat memenuhi asas kejelasan tujuan, keterbukaan, dan keterpaduan. Seiring perkembangannya, aturan ini telah mengalami dua kali perubahan, yakni melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dan terakhir Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022. Perubahan-perubahan tersebut dimaksudkan untuk menyempurnakan proses legislasi agar lebih partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Namun, meskipun secara normatif telah ada regulasi yang mengatur mekanisme legislasi, dalam praktiknya masih terdapat berbagai penyimpangan. Penyusunan Undang-Undang sering kali dilakukan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat secara optimal, sehingga aspirasi publik kurang terakomodasi. Selain itu, proses legislasi yang terburu-buru atau kurang transparan semakin memperbesar potensi aturan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan ketat dari berbagai pihak agar setiap produk hukum yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat dan tidak bertentangan dengan prinsip keadilan serta kesejahteraan sosial.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan hadir dengan status Umbrella Provision (Undang-Undang Payung). Status ini menjadikan UU 13/2022 sebagai pedoman utama dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga setiap Undang-Undang yang disusun harus merujuk pada ketentuan yang diatur dalam regulasi ini. Lahirnya UU 13/2022 merupakan amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang merupakan hasil judicial review terhadap Undang-Undang Cipta Kerja. Dengan adanya putusan ini, diperlukan penyempurnaan regulasi terkait proses legislasi, khususnya dalam aspek metodologi dan keterlibatan masyarakat.
Perbedaan mendasar antara UU 13/2022 dengan dua pendahulunya, yaitu UU 12/2011 dan UU 15/2019, terletak pada dua aspek utama. Pertama, adanya penambahan metode Omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Metode ini memungkinkan perubahan atau pencabutan beberapa Undang-Undang sekaligus dalam satu regulasi, yang bertujuan untuk menyederhanakan regulasi dan meningkatkan efektivitas hukum. Kedua, adanya perluasan makna partisipasi masyarakat, yang dikenal dengan konsep Meaningful Participation.
Konsep Meaningful Participation bertujuan untuk memastikan keterlibatan masyarakat yang lebih substansial dalam proses legislasi. Dalam konteks ini, masyarakat tidak hanya diberikan ruang untuk menyampaikan pendapat, tetapi juga memiliki hak untuk memastikan bahwa masukan mereka benar-benar dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan. Dengan demikian, konsep ini dapat menjadi instrumen penting bagi masyarakat dalam mempertahankan hak-haknya serta memastikan bahwa setiap Undang-Undang yang disusun mencerminkan kepentingan publik. Namun, efektivitas Meaningful Participation sangat bergantung pada mekanisme implementasinya, terutama dalam hal transparansi proses legislasi dan keterbukaan akses bagi seluruh elemen masyarakat.
Meaningful Participation (partisipasi bermakna) merupakan konsep yang menekankan pentingnya keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan, khususnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Konsep ini berkembang sebagai respons terhadap kebutuhan akan sistem legislasi yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel. Partisipasi masyarakat yang bermakna tidak hanya sebatas formalitas dalam proses legislasi, tetapi juga memastikan bahwa suara (pendapat) masyarakat benar-benar memiliki dampak terhadap substansi peraturan yang dibentuk.
Lahirnya konsep Meaningful Participation dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam salah satu poin putusannya, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Meaningful Participation harus diterapkan secara konkret dalam proses legislasi. Implementasi konsep ini didasarkan pada tiga prinsip utama, yaitu: pertama, hak untuk didengar pendapatnya (right to be heard), yang berarti masyarakat memiliki kesempatan untuk menyampaikan aspirasi, kritik, maupun masukan terhadap rancangan peraturan perundang-undangan; kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), di mana setiap masukan yang diberikan oleh masyarakat harus benar-benar dikaji dan dijadikan bahan pertimbangan dalam proses penyusunan kebijakan; dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained), yang mengharuskan pemerintah atau pembentuk undang-undang memberikan tanggapan yang jelas terhadap masukan yang telah disampaikan oleh masyarakat.
Dengan adanya tiga prinsip tersebut, Meaningful Participation diharapkan dapat menjadi mekanisme yang efektif dalam mencegah lahirnya regulasi yang tidak berpihak pada kepentingan publik. Selain itu, implementasi konsep ini juga menuntut adanya transparansi dalam setiap tahapan legislasi, termasuk dalam penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan suatu undang-undang. Perlu adanya komitmen yang kuat dari para pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa Meaningful Participation benar-benar diterapkan, bukan sekadar menjadi (sebagai) formalitas tanpa dampak nyata dalam proses pembuatan kebijakan.
Secara filosofis, ketiga prinsip Meaningful Participation harus diterapkan dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, yang meliputi Perencanaan, Penyusunan, Pembahasan, Pengesahan, dan Pengundangan. Dalam setiap tahap tersebut, keterlibatan masyarakat harus dijamin agar proses legislasi tidak hanya menjadi proses formalitas, tetapi benar-benar mencerminkan aspirasi serta kepentingan publik.
Secara Dass Sollen, konsep Meaningful Participation telah diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, khususnya dalam Pasal 96. Pasal ini mengatur mekanisme partisipasi masyarakat yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk melalui konsultasi publik yang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Namun, meskipun secara normatif konsep ini telah dimasukkan ke dalam regulasi, implementasi nyatanya masih belum sepenuhnya sesuai dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan antara dasar normatif (Dass Sollen) dan realitas implementasi (Dass Sein). Dalam praktiknya, partisipasi masyarakat sering kali masih bersifat prosedural dan belum secara benar menjadi instrumen yang efektif dalam mempengaruhi substansi peraturan perundang-undangan. Diperlukan penguatan mekanisme partisipasi publik agar prinsip Meaningful Participation dapat diimplementasikan secara optimal dalam setiap tahap pembentukan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan prinsip demokrasi yang berlandaskan pada keterbukaan dan akuntabilitas.
Permasalahan serius terkait penerapan Meaningful Participation kembali mencuat di awal tahun ini. Setidaknya, sudah ada dua produk hukum yang tidak mencerminkan prinsip partisipasi bermakna dalam proses pembentukannya. Salah satu contoh yang mencolok adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang telah diundangkan pada 24 Februari 2025 lalu.
Hadirnya Undang-Undang ini menuai kritik karena proses revisinya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat, hanya tiga hari, sebelum akhirnya segera diundangkan. Kecepatan pembentukan regulasi ini menimbulkan pertanyaan besar terkait transparansi dan akuntabilitas proses legislasi. Bahkan, dalam kasus ini, tidak hanya Meaningful Participation yang diabaikan, tetapi juga partisipasi masyarakat dalam arti harfiahnya tidak difasilitasi. Publik tidak memiliki akses untuk memberikan masukan, baik dalam bentuk konsultasi, dengar pendapat, maupun forum diskusi yang seharusnya menjadi bagian dari proses legislasi yang demokratis.
Salah satu aspek penting dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan mengenai Danantara, yang membawa perubahan signifikan dalam tata kelola BUMN. Namun, absennya keterlibatan masyarakat dalam pembahasannya menimbulkan kekhawatiran bahwa kebijakan ini lebih mengakomodasi kepentingan tertentu dibandingkan dengan kepentingan publik. Padahal, UU 13/2022 telah mengamanatkan mekanisme Meaningful Participation, sebagaimana tercantum dalam Pasal 96, yang seharusnya menjadi pedoman dalam setiap tahapan legislasi.
Minimnya partisipasi publik dalam pembentukan regulasi seperti ini menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan antara aturan normatif dan praktik implementasi dalam sistem hukum Indonesia. Jika mekanisme partisipasi masyarakat tidak dijalankan sebagaimana mestinya, maka ruang legislasi dapat semakin menjauh dari prinsip demokrasi deliberatif yang menempatkan keterbukaan sebagai elemen fundamental. Hal ini menunjukkan perlunya evaluasi lebih lanjut terhadap praktik pembentukan peraturan perundang-undangan agar proses legislasi benar-benar sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang telah diamanatkan dalam berbagai regulasi terkait.
Belum genap satu bulan setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), muncul kembali produk hukum yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 sebagai payung hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Kali ini, Undang-Undang yang menjadi sorotan adalah Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI), yaitu revisi atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Proses pembentukan RUU TNI ini memicu polemik, terutama karena minimnya keterlibatan publik dalam tahapan penyusunannya. Padahal, sebagai revisi dari regulasi yang mengatur institusi pertahanan negara, RUU ini memiliki implikasi luas, tidak hanya bagi internal TNI tetapi juga bagi sistem demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia. Namun, seperti halnya dalam pembentukan UU BUMN, prinsip Meaningful Participation dalam penyusunan RUU TNI tampaknya juga diabaikan.
Pelanggaran terhadap UU 13/2022 dalam proses legislasi ini semakin memperlihatkan tren abainya mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Meskipun secara normatif Pasal 96 UU 13/2022 telah mengatur kewajiban partisipasi publik dalam pembentukan regulasi, dalam praktiknya, partisipasi tersebut sering kali hanya menjadi formalitas belaka. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen pembentuk Undang-Undang dalam menjunjung asas keterbukaan dan demokrasi deliberatif yang seharusnya menjadi fondasi dalam sistem hukum di Indonesia.
Undang-Undang ini bahkan lebih ajaib dibandingkan UU 1/2025, karena proses pembentukannya benar-benar menyimpang dari amanah UU 13/2022. Salah satu kejanggalan yang mencolok adalah pelaksanaan Rapat Tingkat I yang dilakukan di luar jam dan hari kerja, serta berlokasi di Hotel Fairmont, bukan di ruang rapat DPR yang seharusnya menjadi tempat resmi pembahasan peraturan perundang-undangan. Praktik semacam ini bukan hanya menyalahi prosedur legislasi yang seharusnya transparan dan akuntabel, tetapi juga semakin menjauhkan proses pembentukan Undang-Undang dari prinsip keterbukaan dan partisipasi publik yang diamanatkan dalam UU 13/2022.
Dari perspektif Meaningful Participation, Undang-Undang ini jelas tidak menjalankan amanah PMK 91/2020. Tiga elemen utama Meaningful Participation yaitu Right to be Heard (hak untuk didengar pendapatnya), Right to be Considered (hak untuk dipertimbangkan pendapatnya), dan Right to be Explained (hak untuk mendapatkan penjelasan atas pendapat yang diberikan) sama sekali tidak diterapkan dalam proses legislasi ini. Bahkan, partisipasi dalam bentuk paling dasar sekalipun nyaris tidak ada, karena masyarakat tidak diberi akses untuk turut serta dalam pembahasan rancangan regulasi ini.
Fenomena ini semakin menegaskan bahwa mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia masih jauh dari standar demokrasi deliberatif. Jika pola seperti ini terus berlanjut, maka makna partisipasi publik yang bermakna dalam legislasi akan semakin terdegradasi, dan Undang-Undang yang dihasilkan cenderung lebih merepresentasikan kepentingan golongan dibandingkan dengan kemaslahatan masyarakat secara luas.
Melihat kenyataan bahwa awal tahun ini saja sudah ada dua Undang-Undang yang keluar dari koridor pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan, tidak menutup kemungkinan bahwa praktik serupa akan terus berlanjut di masa mendatang.
Jika hal ini dibiarkan tanpa adanya perbaikan sistemik, maka produk hukum yang dihasilkan tidak lagi mencerminkan aspirasi dan kemasalahatan masyarakat, melainkan lebih banyak berpihak pada kepentingan golongan. Fenomena ini tentu berbahaya bagi sistem hukum dan demokrasi di Indonesia, sebab regulasi yang tidak didasarkan pada prinsip partisipasi publik yang bermakna (Meaningful Participation) berpotensi besar menimbulkan polemik, menggerus legitimasi hukum, serta memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif dan eksekutif.
Sebagai pemangku kebijakan, baik DPR maupun pemerintah memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral untuk memastikan bahwa setiap Undang-Undang yang disusun benar-benar melalui proses yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.
Langkah konkret yang harus dilakukan adalah memperketat pengawasan terhadap proses legislasi, menegakkan aturan dalam UU 13/2022, serta memastikan bahwa setiap tahapan pembentukan Undang-Undang mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, hingga pengundangan mengakomodasi keterlibatan masyarakat secara nyata. Selain itu, diperlukan mekanisme evaluasi dan koreksi terhadap Undang-Undang yang terbukti disusun tanpa melalui proses yang demokratis, agar produk hukum yang dihasilkan benar-benar memiliki legitimasi yang kuat dan keberpihakan kepada rakyat.
Tanpa adanya reformasi dalam mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan, maka pembuatan kebijakan yang tidak demokratis akan terus berulang, yang pada akhirnya hanya akan merugikan masyarakat dan melemahkan sistem hukum nasional. Oleh karena itu, kesadaran kolektif dan kontrol dari berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta media, menjadi sangat penting untuk terus mengawal setiap kebijakan yang dihasilkan. Dengan demikian, ke depan, setiap regulasi yang disusun dapat mencerminkan keadilan serta kemaslahatan masyarakat secara luas, tidak hanya menjadi alat kepentingan golongan yang berkuasa.
📲 Ingin update berita terbaru dari Satujuang langsung di WhatsApp? Gabung ke channel kami Klik di sini.