Satujuang.com – Pemerintah Republik Indonesia mengalokasikan puluhan Triliun uang negara untuk digelontorkan ke desa-desa setiap tahun.
Dengan tujuan, untuk menurunkan angka kemiskinan dan kesenjangan. Membangun infrastruktur desa sesuai dengan kearifan lokal.
Meningkatkan nilai-nilai keagamaan, sosial, budaya dengan tujuan kesejahteraan sosial. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Namun sayangnya, banyak kepala desa justru tersandung kasus korupsi dalam penggunaan anggaran dana desa tersebut.

Bagaimana kita mengetahui bahwa anggaran desa tersebut sudah sesuai peruntukan
Mengutip situs Kemendesa.go.id, berikut ciri-ciri anggaran desa tidak efektif dan tidak transparan :
- Tidak ada papan proyek,
- Laporan realisasi sama persis dengan RAB,
- Lembaga desa, pengurusnya keluarga Kades semua,
- BPD mati kiri alias Pasif alias makan gaji buta,
- Kades pegang semua uang, bendahara hanya berfungsi di Bank saja,
- Perangkat desa yang jujur dan vokal biasanya “disingkirkan”,
- Banyak kegiatan terlambat pelaksanaannya dari jadwal, padahal anggarannya sudah ada,
- Musdes pesertanya sedikit, muka yang hadir itu-itu saja dari tahun ke tahun dan yang kritis biasanya tidak diundang,
- BUMDES tidak berkembang,
- Belanja barang / jasa di Monopoli Kades,
- Tidak ada sosialisasi terkait kegiatan kepada masyarakat,
- Pemdes marah ketika ada yang menanyakan Anggaran Kegiatan dan Anggaran Desa,
- Kades dan Perangkat dalam waktu singkat, mampu membeli mobil dan membangun rumah dengan harga/biaya ratusan juta. Padahal sumber penghasilan tidak sepadan dengan apa yang terlihat sebagai pendapatannya.
(Red)