Oleh: Rahmat Satujuang
Dunia pendidikan saat ini telah masuk pada masa-masa penerimaan siswa/i baru untuk tahun ajaran 2024/2025.
Dari tingkat taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi sudah mulai menjalankan proses-proses terkait Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB).
Dari bulan Mei hingga bulan Juni ini, penerimaan siswa/i baru telah mulai dilaksanakan untuk tingkatan TK dan Sekolah Dasar (SD).
Untuk proses PPDB, pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menerbitkan berbagai aturan.
Dimana aturan-aturan terkait PPDB tersebut dibuat agar proses penerimaan siswa di berbagai daerah di Indonesia menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya dengan harapan bisa menciptakan generasi-generasi terbaik.
Namun nampaknya, aturan-aturan tersebut masih bisa ditemukan celahnya oleh oknum-oknum nakal yang ada di daerah.
Saat ini masih ditemukan sekolah yang terindikasi melakukan tindakan yang tidak mencerminkan perilaku orang yang berpendidikan.
‘Beli Bangku’, istilah ini masih terdengar banyak terjadi di beberapa sekolah bahkan mulai dari tingkat SD.
Di tingkat SD, Istilah ini kebanyakan digunakan untuk para wali murid yang anaknya belum memenuhi umur sesuai standar umur yang telah ditetapkan oleh Kemendikbudristek.
Biaya yang harus dikeluarkan oleh para wali murid pun beragam, dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Angka bisa berkurang asalkan sang wali murid bisa menjalin komunikasi yang baik dengan panitia PPDB.
Faktor hubungan keluarga pun bisa menjadi salah satu alasan agar angka yang diminta bisa dikurangi bahkan bisa saja jadi gratis.
Para oknum yang meminta uang ‘Beli Bangku’ ini pun nampaknya sudah sangat terstruktur karena sudah biasa melakukan hal tersebut setiap tahunnya.
Urusan ‘Beli Bangku’ tidak bisa dilakukan kepada sang Kepala Sekolah, biasanya ada oknum tertentu yang disiapkan untuk melayani para wali murid yang ingin ‘Beli Bangku’.
Miris, begitulah istilah yang cocok untuk keadaan ini. Bagaimana pendidikan akan menghasilkan para generasi yang cerdas dan jauh dari perilaku KKN, jika sejak awal pendidikan mereka saja sudah dinodai dengan perilaku yang kotor.
Di tingkat Sekolah Dasar saja, perilaku kotor seperti ini sudah dijalankan dan bahkan terkesan adalah hal yang lumrah sehingga boleh-boleh saja dilakukan.
Bagaimana dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi lagi?
Apakah kondisi seperti ini akan terus terjadi?
Penulis adalah wakil pimpinan redaksi satujuang