Zakat Fitrah: Uang atau Beras, Mana yang Lebih Optimal?

Editor: Andreas

Satujuang, Jakarta – Menjelang berakhirnya bulan Ramadan, masyarakat Muslim di seluruh nusantara kembali di hadapkan pada pilihan tradisional dalam menunaikan zakat fitrah.

Sebagian kalangan mempertanyakan, apakah pemberian zakat fitrah sebaiknya di lakukan dalam bentuk uang atau beras? Perdebatan ini muncul seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan kondisi ekonomi masyarakat.

Sesuai dengan ajaran Islam, zakat ini memiliki tujuan untuk membersihkan jiwa dan membantu meringankan beban kaum dhuafa.

Secara historis, zakat fitrah di berikan dalam bentuk makanan pokok, khususnya beras, sebagai simbol nyata pemenuhan kebutuhan dasar.

Namun, seiring dengan di namika kehidupan modern, alternatif berupa uang semakin banyak di minati.

Beberapa ulama dan pengurus zakat berpendapat bahwa pemberian zakat fitrah dalam bentuk uang lebih fleksibel.

Kemudahan Distribusi:

Uang memungkinkan penyaluran dana secara cepat dan tepat sasaran melalui berbagai lembaga amil zakat yang telah profesional dalam pendistribusian.

Transparansi dan Akuntabilitas:

Penerima zakat dapat menggunakan uang sesuai dengan kebutuhan mereka, baik untuk membeli makanan atau keperluan mendesak lainnya.

Adaptasi Terhadap Perubahan Harga: Di tengah fluktuasi harga pangan, uang di anggap sebagai bentuk yang lebih dinamis karena nilainya dapat menyesuaikan dengan harga pasar.

Di sisi lain, pendukung pemberian zakat fitrah dalam bentuk beras menekankan nilai-nilai historis dan simbolik dari bentuk tersebut:

Kesinambungan Tradisi:

Pemberian beras mengingatkan umat akan warisan dan sunnah Nabi Muhammad SAW yang menekankan kesederhanaan dan ketersediaan pangan.

Kebutuhan Pokok:

Beras sebagai bahan makanan pokok memberikan jaminan tersendiri bahwa penerima zakat mendapatkan asupan nutrisi langsung, terutama di daerah dengan akses terbatas ke pasar atau layanan perbankan.

Efektivitas Sosial: Distribusi beras secara langsung ke masyarakat yang membutuhkan dapat meningkatkan solidaritas sosial, terutama di komunitas yang masih mempertahankan tradisi pemberian zakat secara konvensional.

Dalam prakteknya, banyak lembaga zakat dan masjid telah menyediakan kedua opsi tersebut agar sesuai dengan kondisi dan preferensi masyarakat.

Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, pemberian zakat fitrah dalam bentuk uang semakin populer karena kemudahan dalam pengumpulan dan distribusinya.

Sedangkan di daerah pedesaan, beras masih menjadi pilihan utama karena masyarakat lebih akrab dengan bentuk tradisional tersebut.

Beberapa pengurus lembaga zakat mengungkapkan, “Kami berusaha menyediakan pilihan agar setiap muzakki bisa menyalurkan zakat fitrah sesuai dengan kenyamanan dan kebutuhan masyarakat setempat. Baik uang maupun beras memiliki keunggulan masing-masing.”

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa fleksibilitas dalam implementasi zakat fitrah merupakan kunci agar program sosial ini dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara efektif.

Perdebatan mengenai pilihan antara uang atau beras sebagai bentuk zakat fitrah tidaklah mutlak, melainkan menyesuaikan dengan kondisi ekonomi, infrastruktur distribusi, serta budaya lokal.

Kedua bentuk tersebut pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu membantu meringankan beban kaum yang membutuhkan serta mensucikan jiwa pemberinya.

Yang terpenting adalah niat dan keikhlasan dalam menunaikan salah satu dari kewajiban agama yang mulia ini.

Dengan semakin berkembangnya teknologi dan sistem distribusi, di harapkan kedua bentuk zakat fitrah ini dapat di jalankan secara optimal, sehingga manfaatnya bisa di rasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat. (Hera)

📲 Ingin update berita terbaru dari Satujuang langsung di WhatsApp? Gabung ke channel kami Klik di sini.

Apa Tanggapanmu?

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *