Jakarta- Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan “Perempuan dan Laki-laki Indonesia 2024” pada 20 Desember 2024.
Laporan ini menunjukkan bahwa persentase perempuan yang memiliki ijazah perguruan tinggi kini lebih tinggi dibandingkan laki-laki, berlawanan dengan anggapan umum bahwa laki-laki lebih banyak menempuh pendidikan tinggi.
Fenomena ini telah berlangsung sejak 2018, meski jumlah penduduk laki-laki di Indonesia lebih banyak dibanding perempuan.
Perubahan Tren di Kota dan Desa
Pada 2017, laki-laki di perkotaan masih mendominasi kepemilikan ijazah perguruan tinggi dengan angka 11,86%, sedikit lebih tinggi dari perempuan (11,74%).
Namun, sejak 2018, tren ini berbalik. Pada 2024, perempuan yang memiliki ijazah perguruan tinggi mencapai 14,08%, sementara laki-laki hanya 12,69%.
Tren serupa juga terjadi di desa, di mana pada 2024 perempuan tercatat memiliki persentase 6,3%, jauh melampaui laki-laki di angka 4,86%.
Menariknya, data menunjukkan persentase laki-laki yang memiliki ijazah perguruan tinggi justru menurun pada 2024 dibandingkan 2022-2023, sementara angka perempuan terus meningkat.
Pentingnya Pendidikan Tinggi bagi Perempuan
Fenomena ini diungkap lebih dalam oleh Izka, seorang lulusan S1 Jurnalistik dan S2 Manajemen Komunikasi.
Baginya, pendidikan tinggi adalah mandat dari orang tua sekaligus bekal untuk meningkatkan kapasitas diri.
Meski sering mendapat komentar merendahkan terkait pilihannya menempuh pendidikan S2, Izka tetap teguh karena menyadari manfaat pendidikan untuk karier maupun peran domestik sebagai ibu.
Ia mencontohkan, pendidikan membantunya mengkritisi informasi saat membesarkan anak.
“Kalau hanya lulusan SMA, mungkin saya tak bisa membesarkan anak dengan optimal seperti sekarang,” ujarnya.
Fenomena Global dan Perubahan Paradigma
Dosen sosiologi Universitas Padjadjaran, Farah Firsanty, menjelaskan bahwa tren perempuan yang lebih banyak kuliah merupakan fenomena global yang dikenal sebagai reversal of gender inequalities in higher education.
Menurutnya, hal ini didorong oleh faktor demografik, sosiologis, ekonomik, dan edukasional.
Peningkatan usia menikah, menurunnya diskriminasi gender, perubahan struktur ekonomi, serta kesadaran akan pentingnya pendidikan tinggi membuat perempuan semakin termotivasi untuk menempuh kuliah.
Farah menegaskan, meskipun perempuan memilih peran domestik, pendidikan tinggi tetap memberikan keterampilan penting, seperti manajemen keuangan dan kemampuan menjadi edukator dalam keluarga.
Stigma bahwa pendidikan tinggi tidak relevan bagi perempuan semakin memudar.
“Kalau laki-laki layak memiliki istri atau ibu yang terdidik, kenapa perempuan tidak boleh berpendidikan tinggi?” tegas Farah.(Red/kumparan)
📲 Ingin update berita terbaru dari Satujuang langsung di WhatsApp? Gabung ke channel kami Klik di sini.