Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang penting untuk membiayai pembangunan nasional.
Oleh karena itu, setiap orang atau badan wajib untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Namun, ada saja orang atau badan yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak.
Tindakan ini disebut dengan pengemplang pajak.

Pengemplang pajak merupakan tindakan yang merugikan negara dan dapat mengganggu pembangunan nasional.
Pengertian Pengemplang Pajak
Berdasarkan aturan yang berlaku di Indonesia, pengemplang pajak adalah orang atau badan yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kewajiban untuk membayar pajak diatur dalam Pasal 23A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang atau badan yang memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib membayar pajak.
Contoh Pengemplang Pajak
Berikut adalah beberapa contoh pengemplang pajak:
- Wajib pajak yang tidak melaporkan SPT Tahunan,
- Wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan dengan jumlah pajak yang kurang dibayar,
- Wajib pajak yang tidak membayar pajak yang sudah terutang,
- Wajib pajak yang menggunakan faktur pajak fiktif,
- Wajib pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang tidak memiliki NPWP.
Sanksi Pengemplang Pajak
Pelanggaran kewajiban membayar pajak dapat dikenakan sanksi administratif dan sanksi pidana.
Sanksi administratif
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Perpajakan, pengemplang pajak dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
- Teguran tertulis,
- Peringatan tertulis,
- Denda,
- Penurunan Pangkat,
- Pemberhentian dengan Hormat tidak Atas Permintaan Sendiri
Sanksi pidana
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, pengemplang pajak dapat dikenakan sanksi pidana berupa:
- Pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun, dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar,
- Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun, dan denda paling sedikit 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 8 (delapan) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Penanganan Pengemplang Pajak
Penanganan kasus pengemplang pajak dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bekerja sama dengan aparat penegak hukum.
DJP akan melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak tersebut untuk mengumpulkan bukti-bukti yang dapat mendukung dugaan pengemplang pajak.
Jika terbukti bersalah, maka wajib pajak tersebut akan dijatuhi sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Aparat penegak hukum, seperti Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Kejaksaan Agung, juga dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus pengemplang pajak.
Jika terbukti bersalah, maka wajib pajak tersebut juga dapat dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Cara Menghindari Pengemplang Pajak
Berikut adalah beberapa tips untuk menghindari pengemplang pajak:
- Memahami ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
- Melaporkan SPT Tahunan tepat waktu,
- Membayar pajak yang sudah terutang tepat waktu,
- Menjaga kelengkapan dokumen perpajakan,
- Berhati-hati dalam melakukan transaksi dengan pihak lain.
Pengemplang pajak merupakan tindakan yang merugikan negara dan dapat mengganggu pembangunan nasional.
Oleh karena itu, setiap orang atau badan wajib untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (Tim)