Satujuang- Uang kuliah tunggal (UKT) mahal meski anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 mencapai Rp665 triliun, naik 20,5% dari tahun sebelumnya.
Namun, dana sebesar itu masih belum mampu membiayai pendidikan tinggi bagi anak-anak dari keluarga miskin.
“Hanya 15% dari anggaran pendidikan atau sekitar Rp99 triliun yang dikelola langsung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek),” ujar Pengamat Pendidikan dari Universitas Paramadina, Totok Amin Soefijanto.
Sisanya, sebagian besar mengalir ke daerah dan dana desa, menunjukkan fokus pemerintah pada pengentasan kemiskinan dan pembangunan desa, yang berdampak pada minimnya subsidi untuk perguruan tinggi negeri (PTN).

Totok menjelaskan, meskipun politik anggaran yang dijalankan Presiden Joko Widodo lebih berfokus pada pendidikan dasar dan menengah, pemerintah perlu menyesuaikan prioritasnya untuk memasukkan pendidikan tinggi.
“Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 9,9 juta penduduk Indonesia berusia 15-25 tahun tidak sekolah, tidak mengikuti pelatihan, dan tidak bekerja, yang dapat menyebabkan bencana demografi jika dibiarkan,” imbuhnya.
Peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Mandira Bienna Elmir, menyoroti pengelolaan anggaran Kemendikbud Ristek yang tidak sebanding dengan dana pendidikan di APBN.
Ia menekankan perlunya intervensi negara untuk merealokasi anggaran agar pendidikan tinggi lebih terjangkau dan berkualitas.
“Transparansi dalam pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga dipertanyakan, terutama dalam akses publik terhadap data penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah dan proporsi mahasiswa di setiap level UKT,” terang Mandira.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai akar masalah dari mahalnya UKT adalah status PTN yang diberi otonomi mencari pembiayaan mandiri, yang akhirnya membebani mahasiswa melalui skema UKT.
Ia menuntut pemerintah menghapus status PTN-BH agar pendidikan kembali menjadi hak dasar seluruh warga negara dan mencegah komersialisasi kampus.
Pengamat Pendidikan Totok Amin Soefijanto juga menyarankan agar pimpinan PTN lebih kreatif dalam mencari dana di luar uang kuliah melalui penelitian dan kolaborasi, untuk meringankan beban mahasiswa dan meningkatkan reputasi kampus.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menegaskan pentingnya subsidi silang untuk membantu mahasiswa kurang mampu, serta mengalokasikan anggaran pendidikan lebih banyak untuk memperluas akses pendidikan.
Yusuf Wibisono dari Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) mengakui bahwa UKT merupakan bentuk subsidi silang, tetapi bantuan operasional PTN yang terbatas membuat biaya kuliah tetap tinggi.
Ia menilai lemahnya bantuan APBN memaksa PTN mencari pendanaan dari sumber lain, yang lebih sering dibebankan pada mahasiswa daripada mencari dari dunia usaha atau individu kaya.(Red/CNN)