Satujuang- Jagat politik Indonesia di hebohkan dengan beredarnya video, Airlangga Hartarto mengundurkan diri dari posisi ketua umum Partai Golkar pada Sabtu (10/8).
“Selamat pagi para kader Partai Golkar yang saya cintai, saya Airlangga Hartarto, setelah mempertimbangkan dan untuk menjaga keutuhan Partai Golkar dalam rangka memastikan stabilitas transisi pemerintahan yang akan terjadi dalam waktu dekat, maka dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, serta atas petunjuk Tuhan Yang Maha Besar, maka dengan ini saya menyatakan pengunduran diri sebagai ketua umum DPP Partai Golkar,” ujar Airlangga Hartarto yang dikutip dari video statementnya.
Sontak hal ini mengejutkan banyak pihak, Pasalnya, Partai Golongan Karya (Golkar) yang merupakan salah satu partai politik terbesar di Indonesia sejak masa orde baru, seolah tengah dilanda badai dinamika politik yang cukup pelik, sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi peta politik nasional.
Para Pengamat dan pakar politik memandang situasi ini dengan beragam pandangan.
Politikus dan budayawan Soegeng Rahardjo Djarot atau yang lebih dikenal sebagai Eros Djarot, menilai bahwa pengunduran diri Airlangga Hartarto dari posisi ketua umum DPP Partai Golkar merupakan kudeta di internal Golkar.
“Saya rasa, kalau ada istilah kudeta Golkar, mungkin istilah itu tidak salah juga,” kata Eros, Minggu (11/8/24).
Eros juga menilai bahwa keputusan Airlangga untuk mundur dari pimpinan partai berlambang pohon beringin itu terasa misterius, yang pada gilirannya menimbulkan berbagai pertanyaan, termasuk mengenai agenda politik apa yang ada setelah pengunduran diri tersebut.
“Kalau dibilang secara ikhlas (mundur) kok enggak terbaca ya, kalau mundur terkait pertimbangan yang sifatnya menyelamatkan negara, kok kayaknya juga kurang kuat alasannya. Jadi mundurnya kenapa?” tuturnya.
“Golkar yang sebetulnya partai yang cukup mengakar sejak lama, kok semudah itu rontok ataupun dipereteli seperti ini,” imbuhnya.
Pengamat politik, Adi Prayitno juga mengungkapkan bahwa pengunduran diri Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar menimbulkan tanda tanya.
“Saya kira semua orang kaget dengan pengunduran Airlangga yang terkesan tiba-tiba dan mendadak karena selama ini memang isu terkait munaslub (musyawarah nasional luar biasa) itu tak pernah sukses ya,” ucap Adi.
Adi mengatakan, pergantian kepemimpinan di tubuh Partai Golkar selalu disertai konflik internal Golkar yang tidak wajar.
“Kalau kita melihat kecenderungan secara umum, Ketua Umum Partai Golkar itu selalu lahir dari situasi yang tidak normal. Ketua Umum Partai Golkar sebelum Airlangga, Setnov, itu jadi Ketum Partai Golkar di tengah konflik internal Golkar pada saat itu. Kalau tidak salah waktu itu konflik internal antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono,” jelasnya.
Sementara itu, Pengamat politik UIN Jakarta, Zaki Mubarak menilai, mundurnya Airlangga Hartarto dari kursi ketua umum Partai Golkar bukanlah hal yang mengejutkan. Ia menilai, tekanan atas mundurnya Airlangga sudah berlangsung sejak lama.
“Tekanan supaya Airlangga Hartarto agar mundur sudah cukup lama. Sebelumnya Airlangga terindikasi kasus hukum, yakni korupsi. Setelah itu ada juga kasus asusila. Namun, ternyata upaya pelengseran gagal,” kata Zaki.
Zaki juga menilai adanya faksi lain yang menghendaki Golkar dapat menempel kekuasaan dan berharap Golkar dipimpin Gibran yang menjabat sebagai wapres.
“Mereka berharap dengan memanfaatkan kekuasaan, Golkar akan dapat berkah banyak dari segi ekonomi dan politik. Namun, masalahnya Gibran tidak memenuhi syarat untuk jadi ketum Golkar harus pernah menjadi anggota minimal lima tahun,” tutur Zaki.
Analis politik Rocky Gerung dalam video di akun youtubenya mengatakan, mundurnya Airlangga Hartarto dari ketua umum Golkar tak lepas dari campur tangan Istana.
Rocky Gerung mengatakan, meskipun Gibran Rakabuming Raka terpilih jadi wakil presiden namun tidak cukup kuat untuk melindungi Jokowi setelah lengser bila dikemudian hari bakal dipersoalkan secara hukum.
“Kendati Gibran dalam posisi yang sangat kuat sebagai wapres tetapi itu tidak cukup untuk mampu melindungi Jokowi di kemudian hari,” ucap Rocky, Senin (12/8/24).
Oleh sebab itu, Sambung Rocky, Jokowi harus memiliki strategi untuk bisa mengendalikan semu peralatan politik termasuk di DPR.
“Keinginan Jokowi untuk memudahkan genggamannya sekarang dia perlihatkan dengan melakukan pengambil alihan Partai Golkar,” kata Rocky.
“Fungsi Gibran sebagai wapres tidak memiliki eksekusi yang kuat apalagi di bawah Presiden Prabowo Subianto,” ujar Rocky.
“Dan di situlah fungsi Bahlil (Bahlil Lahadalia) dan orang orang di sekitar Jokowi berupaya memberikan jaminan bahwa Anda akan aman jika Golkar kami ambil alih,” ulas Rocky. (AHK)
📲 Ingin update berita terbaru dari Satujuang langsung di WhatsApp? Gabung ke channel kami Klik di sini.