Jakarta- Warna merah muda (pink) kini kerap diasosiasikan dengan perempuan, seperti terlihat dalam film Barbie (2023), di mana pink mendominasi elemen visual.
Namun, hubungan warna ini dengan feminitas adalah konstruksi sosial yang berkembang seiring waktu.
Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, pink justru dianggap sebagai warna maskulin, sedangkan biru lebih cocok untuk perempuan.
Sebuah artikel jurnal Ladies Home tahun 1890 menyebut bahwa merah muda, dengan kesan tegas dan kuat, lebih cocok untuk anak laki-laki.
Bahkan pada 1918, pandangan ini masih dipegang luas. Namun, survei di berbagai wilayah AS menunjukkan bahwa preferensi ini tidak seragam, dengan perdebatan mengenai mana warna yang sebaiknya diasosiasikan dengan masing-masing gender.
Menurut Jo Paoletti dalam buku Pink and Blue: Telling the Boys from the Girls in America, hingga akhir abad ke-19, pakaian anak-anak sering kali berwarna netral, seperti putih, tanpa menonjolkan gender.
Baru pada pertengahan abad ke-20, asosiasi gender dengan warna mulai menguat, terutama karena tren pakaian anak yang meniru gaya orang tua mereka.
Perubahan Tren dan Dominasi Pink untuk Perempuan
Pada 1970-an, gerakan feminis dan tren pakaian unisex sempat mengurangi dominasi pink pada pakaian anak perempuan.
Namun, pada 1980-an, tren kembali berubah. Pengujian prenatal yang memungkinkan orang tua mengetahui jenis kelamin bayi sebelum lahir memperkuat preferensi warna gender.
Tren ini semakin terlihat dalam acara seperti gender reveal party yang menggunakan pink untuk perempuan dan biru untuk laki-laki.
Kontroversi “Pajak Pink” dan Stereotip Gender
Maraknya produk pink yang dipasarkan khusus untuk perempuan, dari sepeda hingga alat cukur, memunculkan istilah “pajak pink”.
Produk ini sering dijual dengan harga lebih mahal dibandingkan versi netral atau untuk laki-laki. Hal ini mendorong New York dan California memberlakukan undang-undang untuk melarang diskriminasi harga berbasis warna.
Kritik terhadap stereotip gender ini juga menyebabkan beberapa toko menghapus pembagian mainan berdasarkan gender.
Publik mulai menolak pengkotakan anak perempuan dengan boneka dan anak laki-laki dengan mainan konstruksi.
Pada akhirnya, asosiasi warna pink untuk perempuan dan biru untuk laki-laki hanyalah hasil konstruksi sosial yang tidak memiliki dasar biologis.
Stereotip ini perlu dikaji ulang karena memengaruhi cara masyarakat memperlakukan individu berdasarkan gender.(Red/detik)