Jakarta- Kerupuk telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam budaya bersantap Nusantara.
Sensasi ‘kriuk’ dan tekstur renyahnya menciptakan kontras yang unik dengan makanan utama, memberikan pengalaman makan yang lebih lengkap.
Ternyata, kerupuk sudah dikenal sejak berabad-abad silam, terbukti dari penyebutan kata “kerupuk” atau “kurupuk” dalam prasasti, naskah kuno, dan karya sastra Jawa, seperti Kakawin Sumanasāntaka dari abad ke-13 karya Mpu Monaguna.
Dalam teks ini, kerupuk tercatat sebagai salah satu makanan yang diperdagangkan di era Jawa kuno.
Sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman, menjelaskan bahwa kerupuk pada masa itu dibuat dari bahan kulit hewan seperti sapi, kerbau, atau rusa.
Berbeda dengan sekarang, kerupuk kuno tidak digoreng dengan minyak kelapa sawit, melainkan disangrai menggunakan pasir. Teknik ini sudah dikenal jauh sebelum minyak goreng berbahan kelapa sawit digunakan.
Beberapa masyarakat Jawa kuno juga menggoreng kerupuk dengan minyak kelapa atau klentik, namun penggunaan pasir tetap lebih umum.
Kerupuk bukan hanya makanan khas Jawa, meskipun sebagian besar bukti keberadaannya ditemukan di sana. Fadly menekankan bahwa asal-usul kerupuk masih diperdebatkan.
Istilah “keropok” di Semenanjung Melayu menunjukkan bahwa kerupuk juga dikenal luas di wilayah tersebut.
Mengingat hubungan historis antara Jawa dan Semenanjung Melayu pada masa Kerajaan Majapahit, diduga bahwa pengaruh kuliner Jawa, termasuk kerupuk, menyebar ke wilayah tersebut. Penyebutan kerupuk dalam prasasti sebelum abad ke-10 memperkuat teori ini.