Satujuang– Pada 30 September 1965, Indonesia mengalami peristiwa yang sangat kontroversial yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September (G30S PKI).

Peristiwa ini melibatkan sebuah kelompok yang diduga terlibat dalam upaya kudeta terhadap Presiden Soekarno.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Kelompok ini dituduh terlibat dalam pembunuhan enam jenderal tinggi militer dan beberapa perwira militer lainnya.

Namun, peristiwa G30S PKI ini juga diiringi oleh tuduhan penyiksaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang serius terhadap para tersangka yang ditangkap.

Tuduhan ini telah menjadi sumber kontroversi dan perdebatan panjang di kalangan masyarakat Indonesia.

Beberapa saksi mata dan mantan tahanan politik yang selamat dari peristiwa ini mengklaim bahwa mereka mengalami penyiksaan yang brutal selama penangkapan dan penahanan mereka.

Mereka mengatakan bahwa mereka disiksa dengan berbagai metode, termasuk pukulan, siksaan fisik, dan penyiksaan psikologis.
Beberapa korban juga melaporkan adanya pemerkosaan dan perlakuan yang tidak manusiawi lainnya.

Salah satu sumber utama yang mengungkapkan tentang penyiksaan ini adalah “Buku Catatan Harian Pelapor” yang ditulis oleh seorang perwira militer Indonesia yang bernama Letnan Kolonel Sugiyono.

Buku ini menceritakan pengalaman pelapor selama penangkapan dan penahanan sejumlah tersangka G 30 S.

Ia secara terperinci mencatat penyiksaan yang dialami oleh para tersangka, termasuk pemukulan, penyiksaan dengan listrik, dan perlakuan yang tidak manusiawi lainnya.

Selain itu, laporan dari Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) yang diterbitkan pada tahun 2012 juga menyebutkan adanya pelanggaran HAM yang dilakukan selama peristiwa G 30 S.

Laporan ini menyebutkan bahwa terdapat bukti yang kuat tentang penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap para tersangka G 30 S.

Namun, tidak semua pihak setuju dengan adanya penyiksaan dan pelanggaran HAM yang dilakukan selama peristiwa G 30 S ini.

Beberapa pihak berpendapat bahwa penyiksaan tersebut hanya merupakan tindakan balas dendam dari aparat keamanan yang marah atas pembunuhan jenderal-jenderal tinggi militer.

Mereka berargumen bahwa tindakan tersebut dilakukan dalam situasi yang sangat tegang dan penuh ketidakpastian.

Kontroversi seputar peristiwa G 30 S dan tuduhan penyiksaan serta pelanggaran HAM yang terkait dengannya masih menjadi perdebatan hingga saat ini.

Beberapa pihak mendesak agar kasus ini dituntaskan secara adil dan transparan, serta agar para korban penyiksaan dan pelanggaran HAM mendapatkan keadilan.

Sementara itu, pihak lain berpendapat bahwa peristiwa ini harus dilupakan dan fokus harus dialihkan pada pembangunan dan rekonsiliasi nasional.

 

Sumber:
1. Sugiyono, Letnan Kolonel. (1966). Buku Catatan Harian Pelapor.
2. Komnas HAM. (2012). Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat 1965-1966.