Etika Dalam Berinternet Merupakan Cerminan Diri

Editor: Raghmad

Oleh : Sindya Nengsih Febriani (D1C019033)

Dalam kehidupan bermasyarakat, etika merupakan hal dasar untuk terciptanya hubungan yang baik. Apabila kita ingin dihargai orang lain maka hargai dahulu orang lain dan jangan harap orang lain akan menghormati kita apabila kita tidak bisa menghormati orang lain.

Etika memang bukan bagian dari hukum tertulis, tapi keberadaannya diakui dan dijunjung tinggi oleh banyak orang.

Mungkin kita sudah terbiasa dengan etika dalam kehidupan sehari-hari, namun bagaimana di internet Apakah etika yang kita terapkan di dunia nyata sudah kita terapkan pula di internet atau malah kita justru abai dan menganggap kalau internet itu tempat meraih kebebasan dimana norma kehidupan tak akan berlaku di dalamnya.

Etika dalam berinternet sering dianggap sepele oleh sebagian warganet, berpikir apa yang mereka ketik dan mereka perbuat dalam dunia maya tidak akan berpengaruh bagi kehidupan nyata mereka.

Memang betul di era digital ini media sosial menjadi wadah untuk masyarakat menyalurkan bakat, aktualisasi diri untuk mengembangkan karya-karya yang mereka miliki dan bebas untuk mengekspresikan diri di dunia maya.

Namun tentu segala hal punya batasan-batasan yang harus diperhatikan.

Di dalam media sosial terdapat hubungan timbal balik yang bahkan tidak kita sadari, ketika kita menjadikan media sosial untuk mengekspresikan hal-hal bersifat negatif tentu akan menjadi bumerang untuk diri kita sendiri.

Sebaliknya, ketika kita menggunakan media sosial dalam ranah positif akan banyak kebermanfaatan yang kita peroleh termasuk untuk pengguna media sosial yang lain.

Menurut riset yang dilakukan Microsoft pada 2021 lalu, dikatakan bahwa warganet Indonesia menjadi warganet paling tidak sopan di kawasan Asia Tenggara.

Mirisnya lagi, beberapa saat setelah Microsoft merilis hasil riset tersebut, akun media sosial Microsoft langsung diserbu oleh warganet asal Indonesia dengan kata-kata yang tak pantas seolah apa yang dirisetkan langsung menjadi kenyataan.

Contoh lain dari rendahnya kesadaran warganet kita terhadap pentingnya etika berinternet adalah, kasus yang sedang heboh di media sosial Tikt*k akhir-akhir ini, ada aksi seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Indonesia yang tengah mengikuti magang di salah satu rumah sakit.

Mahasiswa berpakaian tenaga kesehatan (nakes) ini membuat sebuah konten yang tak menggambarkan seseorang yang menjunjung tinggi etika berinternet, kontennya mengarah kepada unsur seksual dan mengaitkan dengan pekerjaannya di rumah sakit justru melanggar kode etik profesi kesehatan, serta menimbulkan ketidaknyamanan baik bagi pengguna lain ataupun pasien itu sendiri.

Unggahan calon nakes itu menceritakan pengalamannya saat memasangkan kateter urin pada pasien laki-laki seumuran, dengan ekspresi yang terkesan mesum ini cukup menyita perhatian publik.

Postingannya di media sosial tersebut juga memperlihatkan betapa kurangnya etika dan kecerdasan dalam bermedia sosial dan dianggap sebagai bentuk pelecehan seksual terhadap pasien.

Di era teknologi digital yang semakin luas ini, hendaknya kita bisa lebih mempertimbangkan dalam menyebarluaskan informasi dan aktivitas, serta memperhatikan etika dan tata cara yang baik dalam bermedia sosial sehingga tidak merugikan pihak manapun.

Dalam bersosial di dunia maya kita tak bisa melihat secara langsung lawan bicara kita itu menyebabkan kita tidak dapat membaca kondisi psikologis, gesture serta mimik wajah emosional lawan.

Terlebih lagi dengan tidak mengenalnya secara langsung, kita tidak bisa mengetahui apakah lawan bicara kita ini seumuran, lebih tua, dari jenjang pendidikan mana, sehingga terkadang pembicaraan yang kita anggap sopan malah sebaliknya, karena lawan bicara kita berbeda latar belakangnya dari kita.

Sebagai contoh obrolan santai ala anak muda tidak bisa diterima dengan mudah oleh para orang tua, jadi yang biasanya percakapan tersebut tidak menjadi masalah di kalangan anak muda, namun ketika orang tua yang membacanya, menangkapnya dengan maksud lain menganggap bahwa gaya percakapan kita tidak menghargai mereka.

Kekurangan ini tentu saja bukanlah hambatan untuk kita menerapkan sopan santun dan etika dalam berkomunikasi di dunia maya, menerapkan etika dan norma-norma kehidupan sehari-hari dalam bermedia sosial menjadi cara yang paling ampuh untuk dilakukan.

Menganggap bahwa dunia maya juga akan mempengaruhi masa depan kita, sehingga kita tetap menerapkan batasan-batasan yang ada, ingatlah fakta bahwa dunia kerja sekarang sudah sangat berkembang dimana kehidupan nyata bukan satu-satunya faktor dalam menilai sikap seseorang.

Bisa dikatakan bahwa kelakuan kita di dunia maya adalah cerminan sebenarnya dari diri, bagaimana tingkah laku kita di hadapan orang asing atau di tempat tanpa pengawasan, kita bisa saja berpura-pura sopan di hadapan banyak kolega tapi apakah sifat itu akan tetap ada ketika kita dihadapkan dengan orang yang tidak mengenal kita atau di tempat tanpa pengawasan sekalipun.

Jangan sampai apa yang kita lakukan di media sosial akan menjadi batu yang menjegal langkah kita di kehidupan nyata, beretikalah dengan siapapun dan dalam kondisi apapun.

 

Penulis merupakan mahasiswa semester 6 Prodi S1 Jurusan Jurnalistik di Universitas Bengkulu (UNIB).

📲 Ingin update berita terbaru dari Satujuang> langsung di WhatsApp? Gabung ke channel kami Klik di sini.

Apa Tanggapanmu?

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *