Beijing- Ketegangan terkait Laut China Selatan kembali meningkat usai kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing dan pertemuannya dengan Presiden China Xi Jinping.
Dalam pertemuan itu, mereka mengeluarkan pernyataan bersama yang salah satunya menyepakati pengembangan bersama di wilayah-wilayah yang saling diklaim.
Termasuk rencana pembentukan Komite Pengarah Bersama untuk mendorong kerja sama berdasarkan prinsip saling menghormati dan menguntungkan.
Kesepakatan ini menuai kritik dari beberapa pakar yang melihatnya sebagai perubahan sikap Indonesia dalam menyikapi sengketa Laut China Selatan.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyebut bahwa jika yang dimaksud dalam kesepakatan itu adalah wilayah Natuna Utara yang berbenturan dengan klaim sepuluh garis putus China, maka Indonesia seolah mengakui klaim sepihak China.
Hal ini, menurutnya, merupakan perubahan fundamental yang berdampak besar pada geopolitik kawasan.
Selama ini, Indonesia tidak mengakui klaim China atas sembilan garis putus yang dianggap tidak memiliki dasar hukum sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Sikap ini sejalan dengan keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA) tahun 2016 yang menolak klaim China tersebut.
Namun, Hikmahanto menegaskan, joint development hanya dimungkinkan jika masing-masing negara mengakui adanya klaim maritim yang tumpang tindih.
Menanggapi kritik ini, Kementerian Luar Negeri Indonesia menegaskan bahwa kerja sama yang dimaksud tidak berarti pengakuan terhadap klaim sepihak China.