Di tengah geliat pelestarian budaya yang terus digalakkan, masyarakat Bengkulu dihadapkan pada fenomena baru: sejumlah tugu Tabot yang dahulu tampil semarak dengan warna-warni khas, kini dicat ulang hanya dengan dua warna—merah dan putih.
Kebijakan ini disebut sebagai bagian dari semangat “Bumi Merah Putih”, slogan yang digaungkan oleh Gubernur Bengkulu sebagai penegasan identitas nasional.
Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah pewarnaan ulang ini mencerminkan penguatan nasionalisme, atau justru mengaburkan kekayaan budaya lokal?
Tabot bukan sekadar benda fisik. Ia adalah simbol budaya yang sarat nilai sejarah, spiritualitas, dan warisan lintas etnis.
Warna-warni mencolok pada struktur Tabot bukan hanya pemanis visual, melainkan memiliki makna filosofis.
Merah melambangkan keberanian dan pengorbanan, emas simbol kemuliaan, hijau berkaitan dengan spiritualitas Islam, sementara biru dan putih menambah harmoni estetik dan kesucian.
Pewarnaan yang beragam ini menjadikan Tabot sebagai elemen budaya yang hidup dan inklusif.
Ketika elemen warna ini direduksi menjadi merah dan putih semata —betapapun sakralnya bendera nasional— ada kekhawatiran bahwa simbolisme lokal akan terpinggirkan oleh narasi tunggal.
Kita tentu mendukung nasionalisme, namun bukan dengan menempatkannya di atas keragaman budaya yang menjadi kekayaan sejati bangsa ini.
Bengkulu memiliki kekayaan budaya yang tidak ternilai: mulai dari ritual Tabot, tarian tradisional seperti Andun dan Kejei, hingga tradisi lisan dan tenun khas daerah.
Semua itu bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan identitas yang membedakan Bengkulu dari provinsi lain.
Dalam konteks ini, warna-warni pada Tabot adalah bagian dari ekspresi budaya yang khas dan membanggakan.
Menyeragamkannya dengan warna nasional tanpa mempertimbangkan nilai lokal, sama saja dengan mengikis ciri khas yang seharusnya dirawat.
Yang juga disayangkan adalah sikap Badan Musyawarah Adat (BMA) yang hingga kini terkesan diam dan pasif.
Sebagai lembaga yang seharusnya menjadi penjaga marwah adat dan budaya lokal, BMA seharusnya tampil di depan dalam menyuarakan kepentingan budaya Bengkulu.
Ketika identitas simbolik seperti Tabot mengalami pergeseran arah, ke mana suara BMA? Di mana peran mereka dalam memberi pandangan, mengoreksi, atau sekadar berdialog dengan pemerintah?
Lebih dari sekadar cat, warna adalah bahasa. Ketika warna-warni Tabot dipaksakan menjadi monokrom, kita sedang bicara tentang perubahan narasi, bahkan pembentukan identitas budaya yang baru.
Apakah ini hasil dialog kultural dengan masyarakat adat dan pelaku budaya Tabot? Ataukah sekadar instruksi birokratik tanpa ruang partisipasi?
Tulisan ini tidak bermaksud menolak semangat nasionalisme, tetapi mengajak semua pihak untuk lebih bijak dalam menyatukan nasionalisme dengan lokalitas.
Alih-alih menyeragamkan, mari kita rayakan keberagaman sebagai wajah asli Indonesia. Bukankah Tabot yang berwarna-warni adalah wujud nasionalisme yang menghargai akar budaya sendiri?.
📲 Ingin update berita terbaru dari Satujuang langsung di WhatsApp? Gabung ke channel kami Klik di sini.