Sejarah Istilah Preman dari Jaman Kolonial, Orde Baru hingga Era Digital

✍️ Andreas

Perkiraan Waktu Baca: 3 menit

Satujuang – Sejarah Istilah preman berawal dari bahasa Belanda, yaitu vrijman, yang berarti orang yang tidak terikat kontrak kerja. Dalam bahasa Inggris, disebut istilah “free man” juga merujuk pada arti yang serupa, yakni seorang yang berstatus bebas.

Namun, seiring berjalannya waktu, makna istilah “preman” di Indonesia mengalami pergeseran menjadi konotasi negatif dan meresahkan yang merujuk pada kelompok atau individu yang melakukan pemerasan, intimidasi, hingga kekerasan terhadap masyarakat.

Jejak Sejarah Preman di Indonesia

Pada era kolonial, kelompok yang kini kita sebut preman lebih dikenal dengan istilah “jagoan”. Meskipun tidak ada catatan pasti kapan sebutan “preman” mulai populer, jejak awal penggunaannya teridentifikasi di wilayah Medan, Sumatera Utara, pada masa era pendudukan Belanda.

Di kawasan perkebunan di sekitar Medan, muncullah sosok vrijman yang dianggap sakti dan menjadi momok menakutkan bagi pengusaha kebun, terutama para tuan tanah Belanda.

Baca Juga :  PT Aero Wisata Buka Lowongan Kerja, Cek Pendaftaran di Sini

Latar belakang kemunculan vrijman dipicu oleh penindasan pekerja perkebunan. Para pekerja merancang perlawanan terhadap praktik-praktik eksploitatif yang diterapkan pengusaha kebun, sehingga muncullah sosok vrijman sebagai simbol perlindungan kaum buruh.

Namun, karena kesulitan pengucapan, istilah vrijman melunak menjadi “preman” dalam bahasa sehari-hari. Perubahan istilah ini beriringan dengan perubahan citra, apabila awalnya lebih bersifat sebagai pelindung kaum buruh, pada dekade 1970-an makna preman bergeser ke arah tindakan kriminal.

Puncak Lonjakan Preman di Masa Orde Baru

Pada era Orde Baru, terutama ketika kondisi ekonomi nasional menurun dan tingkat pengangguran meningkat drastis pada awal 1970-an, preman kian merajalela.

Banyak warga usia produktif yang kesulitan memperoleh pekerjaan formal akhirnya mencari “peluang” di jalanan.

Pemerasan, pungutan liar, hingga aksi kekerasan menjadi sumber pendapatan utama bagi kelompok preman.

Baca Juga :  Rayakan HUT TNI ke-79, Kodam V/Brawijaya Gelar Triathlon Internasional

Lokasi-lokasi strategis seperti pelabuhan, stasiun kereta api, terminal bus, dan pasar tradisional kerap menjadi sasaran empuk para preman.

Menginjak dekade 1980-an, data kepolisian mencatat sejumlah kasus kekerasan hingga kematian yang diduga sebagai ulah preman.

Jenderal LB Moerdani, selaku Panglima Angkatan Bersenjata Indonesia di masa itu, melihat sejumlah aksi premanisme akhirnya memerintahkan operasi militer “penembak misterius” atau Petrus.

Operasi Petrus dimulai pada Maret 1983, dipimpin Letkol M. Hasbi dari Garnisun Yogyakarta. Media kala itu memberitakan puluhan preman tewas secara misterius karena terlibat tindak kriminal.

Tindakan ini berdampak cukup signifikan, angka kejahatan di Yogyakarta dilaporkan turun drastis dari 52 kasus menjadi 20 kasus, sementara di Semarang berkurang dari 78 kasus menjadi 50.

Upaya Penegakan Hukum

Meski operasi Petrus berakhir beberapa dekade silam, praktek premanisme tidak sepenuhnya lenyap.

Belum lama ini, pada rentang 11–14 Juni 2021, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencatat penangkapan sebanyak 3.823 orang terkait kasus aksi premanisme dan pungutan liar di berbagai wilayah Nusantara.

Baca Juga :  Tim Prabowo-Gibran Minta Megawati Hadir di Sidang Sengketa Pilpres

Angka tersebut menunjukkan bahwa aksi premanisme masih terus menjerat sektor ekonomi informal dan menciptakan ketidaknyamanan masyarakat.

Bentuk-bentuk premanisme kini telah beradaptasi, tidak sekadar duduk di sudut terminal menagih “uang parkir” ilegal, tetapi juga merambah ke pungli di dalam jaringan transportasi online, parkir liar, hingga pengamanan “swadaya” pada acara publik.

Meski demikian, aparat kepolisian kini tengah gencar melakukan razia dan operasi antisipasi, bekerja sama dengan stakeholder lokal untuk meminimalisasi ruang gerak para pelaku kejahatan.

Perjalanan premanisme di Indonesia telah melewati berbagai fase transformasi, dari “jagoan” pembela kaum buruh, bergeser menjadi sindikat kriminal yang menebar teror, hingga memasuki ranah ekonomi digital di masa kini. (AHK)

 

Tag:

Dapatkan berita pilihan kami langsung di handphone-mu! Follow akun sosial media Satujuang.com di:
👉 WhatsApp Channel: https://whatsapp.com/channel/0029VavO9DU0lwgyedNGq30R
👉 Facebook: facebook.com/RedaksiSatuJuang
👉 TikTok: @satujuang.vt

Berikan Komentarmu

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *