Jakarta- Jepang, dikenal sebagai negara maju dengan ekonomi dan teknologi yang pesat, serta sebagai destinasi wisata populer di Asia.
Namun, di balik keindahan dan modernitasnya, Negeri Sakura memiliki sisi gelap yang sering kali mengejutkan bagi para pendatang dan turis asing.
Salah satu masalah yang menonjol adalah komunitas “Toyoko Kids”, sekelompok remaja yang kabur dari rumah dan berkumpul di kawasan Shinjuku, Tokyo.
Awalnya terbentuk untuk melindungi diri dari kekerasan, mereka justru terjerumus ke dunia malam yang melibatkan alkohol, narkoba, prostitusi, bahkan kriminalitas terkait Yakuza.
Para remaja ini kerap tampil dengan gaya “Jirai Kei” atau “kawaii dark style,” dan keberadaan mereka di tempat umum sering membuat resah warga lokal.
Budaya kerja yang ekstrem juga menjadi tekanan bagi penduduk Jepang. Budaya “gila kerja” atau overwork mengakar kuat, dengan pekerja menghabiskan 12-14 jam sehari di kantor.
Tekanan ini tak jarang berujung pada fenomena “karoshi” atau kematian akibat kelelahan kerja.
Tak hanya itu, tingginya harga properti membuat banyak warga kesulitan memiliki atau menyewa tempat tinggal, dan bahkan pemilik properti enggan menyewakan kepada orang asing.
Tingkat stres yang tinggi di masyarakat Jepang turut berkontribusi pada kasus bunuh diri yang cukup tinggi, menjadikannya isu sosial yang serius.
Hal ini diperburuk oleh kecenderungan masyarakat Jepang menjaga jarak dari orang asing, sebagian karena kendala bahasa dan budaya yang kuat.
Selain itu, kasus pelecehan seksual di ruang publik dan tempat kerja, terutama di kereta pada jam sibuk, masih marak terjadi, dan kurang mendapat perhatian serius dari aparat.