Satujuang, Bengkulu- Kuasa hukum tersangka kasus Mega Mall Bengkulu mengungkap kejanggalan dakwaan yang menyebut tahun 2017. Hal ini menjadi sorotan dalam sidang perdana di Pengadilan Negeri Bengkulu.
Sidang perdana dugaan korupsi kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pengelolaan Mega Mall Bengkulu dan PTM digelar Senin (10/11). Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Bengkulu membacakan surat dakwaan.
“Hari ini kita sudah membacakan dakwaan terhadap tujuh terdakwa. Empat terdakwa dijerat Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, sedangkan tiga terdakwa lainnya didakwa dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” jelas Arief Wirawan, Kepala Seksi Penuntutan Kejati Bengkulu usai sidang, Senin.
Tujuh terdakwa meliputi Ahmad Kenedi, mantan Wali Kota Bengkulu. Enam terdakwa lain adalah Kurniadi Benggawan, Chandra D. Putra, Heriadi Benggawan, Satriadi Benggawan, Wahyu Laksono, dan Budi Santoso.
Dalam dakwaan disebutkan, Ahmad Kenedi disebut menyetujui kerja sama pengelolaan aset Mega Mall Bengkulu dan PTM. Persetujuan ini berujung pada penggadaian sertifikat tanah milik Pemerintah Kota Bengkulu ke bank.
Penasihat Hukum Ahmad Kenedi, Hotma Sihombing SH, usai sidang menegaskan tidak akan mengajukan eksepsi.
“Kami siap masuk ke tahap pembuktian dan menunjukkan fakta yang sebenarnya,” ujar Hotma usai sidang.
Namun ada yang menarik, tim kuasa hukum menemukan kejanggalan serius dalam berkas dakwaan. Terutama pada bagian yang menyebut tahun 2017 sebagai waktu penandatanganan ulang perjanjian kredit.
“Kami bingung maksud penandatanganan di tahun 2017 itu ditujukan untuk siapa?. Padahal Ahmad Kenedi tidak lagi menjadi wali kota saat itu,” ujar Hotma saat ditemui di kantornya pada Selasa (11/11/25) kemarin.
Faktanya kata Hotma, masa jabatan Ahmad Kenedi sebagai Wali Kota Bengkulu berakhir pada 2012. Pada tahun 2017, ia aktif sebagai anggota DPD RI dapil Bengkulu.
Artinya, Ahmad Kenedi tidak memiliki wewenang administratif terkait pengelolaan aset Mega Mall Bengkulu pada 2017. Dakwaan justru memasukkan tahun tersebut sebagai rangkaian perbuatan merugikan negara.
“Apa maksudnya sosok wali kota lain?,” lontar Hotma.
Kejanggalan ini menunjukkan kronologi peristiwa yang tidak konsisten. Dakwaan menghubungkan tindakan yang terjadi lima tahun setelah masa jabatan berakhir.
Selain itu, kapasitas hukum Ahmad Kenedi sebagai pihak penandatangan perjanjian korporasi pada 2017 tidak jelas. Hal ini menimbulkan pertanyaan publik.
Hubungan antara jabatan publik dan perbuatan hukum menjadi kabur, sebab peristiwa terjadi yang disebutkan berada di luar masa kewenangan pemerintahan Ahmad Kenedi.
Perkara ini menarik perhatian publik, sebab rentang waktu kejadian terjadi dalam masa jabatan sosok Wali Kota Bengkulu yang berbeda-beda. (Red)
Tag:
Dapatkan berita pilihan kami langsung di handphone-mu! Follow akun sosial media Satujuang.com di:
π WhatsApp Channel:
https://whatsapp.com/channel/0029VavO9DU0lwgyedNGq30R
π Facebook:
facebook.com/RedaksiSatuJuang
π TikTok:
@satujuang.vt










yg walikota 10 thn dari 2013 sd 2023..jadi 2017 itu walikota inilah
Itu yg bertanggung jawab Heni Hasan sebagai Walikota