Kabar terakhir, kata Didi, perusahaan sedang mereklamasi dengan menimbun lubang PIT tambang dan memperbaiki jalan provinsi yang rusak.
“Kalau perusahaan menambang di PIT yang di luar lokasi jalan yang rusak dan masuk dalam dokumen persetujuan RKAB, tidak masalah. Yang tetap di minta dari Pemprov adalah iktikad baik perusahaan atas penyelesaian jalan aset provinsi yang rusak tersebut,” tuturnya.
Ia menjelaskan bahwa secara administrasi dan kewenangan pengawasan pertambangan batu bara tidak lagi di Pemprov sejak 2020 karena telah menjadi kewenangan dan tanggungjawab Kementerian ESDM melalui Ditjen Minerba.
Namun, terkait dengan rusak-nya jalan milik provinsi, itu kewenangan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Bengkulu.
Melihat fenomena ini, M Hafidz, penggiat anti korupsi di Jakarta menyebut ada hal aneh dalam penyelesaian masalah ini.
“Sudah jelas aset negara di rusak, bukannya ditindak dan diberi hukuman, kok malah diminta itikad baik, gak salah. Terindikasi ada pembiaran terhadap pelanggaran hukum. Orang paham hukum kok melanggar hukum, apa kata dunia,” ketusnya.
Ia mengatakan, APH harusnya sudah menindak pelanggaran ini. Karena bukan soal itikad baik, tapi soal penegakan aturan yang benar dan sesuai regulasi di Negara Republik Indonesia. (Red)