Konstituen Dewan Pers dalam diskusi ini mengirim perwakilan organisasi masing-masing, yakni SMSI, Persatuan Wartawan Indonesia(PWI), Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Indonesia, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) , Ketua Serikat Perusahaan Pers (SPS).
Kemudian Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional (PRSSNI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI). Selain itu, hadir juga perwakilan dari Tim Kajian RUU KUHP Dewan Pers tahun 2020, diantaranya, Ahmad Djauhar, dan K. Candi Sinaga.
Arif Zulkifli sebelum diskusi dimulai memberi arahan untuk mencermati bahayanya pasal-pasal rancangan KUHP apabila diterapkan, apakah akan berpotensi mengkriminalisasi wartawan, apa yang harus dilakukan bersama-sama.
Dalam diskusi secara tegas dan jelas ahli hukum tata negara dan kebijakan Bivitri Susanti yang menjadi pembicara menjelaskan pasal per pasal yang berpotensi menghambat dan mengancam kemerdekaan pers.
“Pemerintah dan DPR RI, kata Bivitri sudah diberi masukan mengenai RUU KUHP sejak tahun 1980-an, tapi tidak mau mengubahnya. “Kenapa keukeuh banget,” kata Bivitri Susanti.
Bivitri yang mengikuti perjalanan RUU KUHP secara seksama menuturkan, tahun 2019, RUU tersebut hampir diketok palu untuk diputuskan. Tetapi kemudian ditarik karena ada pasal- pasal yang kontroversial.
Pada 22 Mei 2022, dalam rapat dipresentasikan kembali, masih ada 14 pasal kontroversi, termasuk yang mengancam kebebasan pers.